Beomgyu dan Yeonjun tampak asik berdansa di dalam kamarnya. Alunan musik Waltz karya Strauss dan Tchaikovsky berbisik pelan memanjakan gendang telinga. Keduanya tertawa kecil dengan masih tetap bergerak kesana kemari. Saling bertatapan satu sama lain. Wajah keduanya memerah karena malu. Sungguh menggemaskan.
Sudah seharian ini mereka menghabiskan waktunya dengan bercengkrama hangat. Beomgyu berkata, bahwa dirinya sudah begitu rindu saat-saat seperti ini. Di mana hanya ada dia dan Yeonjun saja. Mau bagaimana lagi, kewajiban sebagai seorang mahasiswa kian memadat dari hari ke hari. Agak sulit bagi mereka, para senior tingkat akhir untuk sekedar berkumpul menyesapi hangat dan pahitnya kopi hitam.
Si beruang madu memainkan surai Yeonjun yang sudah terlampau panjang hingga menyentuh punggung. Ia memeluk rubah nakalnya erat, sedang empunya terkekeh pelan lalu kemudian membalas. Tak ada pembicaraan di antara keduanya untuk beberapa saat. Hanya deru nafas serta degub jantung yang saling bertaut. Beomgyu memandangi wajah Yeonjun dalam, kemudian dikecupnya sekilas pipi kiri si rubah.
"Junie-ah, aku rindu padamu..." ujar Beomgyu yang semakin membenamkan wajahnya di dada bidang Yeonjun.
"Pfftt, kau ini..." ia mengusap surai hitam itu sayang.
Sang senja mulai menyapa dengan ramah, lukisan manis di langit bak gulali terlihat begitu indah dan menenangkan. Kedua pemuda itu saling bergandengan tangan, berjalan santai keluar dari asrama. Tak ada arah dan tujuan pasti, yang terpenting adalah esensi kebersamaannya. Beomgyu memeluk lengan kanan Yeonjun protektif.
Keduanya berakhir dengan terduduk di pelataran taman yang menghadap lapangan basket, sembari menikmati karya tuhan yang begitu estetik.
"Jika saja Hueningie tak ada kegiatan hari ini, mungkin dia sudah berdiri di depan kita seraya berpuisi aneh. Merapal kalimat abstrak tak bermakna..." Beomgyu tergelak geli mendengar ucapan Yeonjun. Tapi, sedetik kemudian air mukanya berubah serius.
"Junie..."
"Hnn"
Beomgyu terlihat mengambil jeda sebelum kembali melanjutkan ucapannya. Ia menggengam kedua kepalan Yeonjun dan menatapnya lembut.
"Aku penasaran dengan isi hatimu," Yeonjun berbalik menatapnya bingung.
"Kau... apa kau tak ingin merasakan yang namanya jatuh cinta?"
***
Minggu ke 17, latihan berlangsung semakin intens. Para anggota kelas terlihat serius memainkan perannya. Tak lagi membutuhkan bantuan fisik berupa naskah, semuanya sudah berada di luar kepala.
Per tiap bagian, mereka berusaha untuk tak melakukan kesalahan dan mengulang adegan. Terlebih adegan yang dirasa terlalu membutuhkan tingkat emosional yang kuat. Seperti hal saat ini, sebuah adegan puncak di mana kedua tokoh utama akan menutup penampilannya dengan... berciuman.
Jihoo, lawan main Yeonjun terlihat stress berat. Melihat teman-temannya yang menunggu, membuatnya semakin tertekan. Terlebih wajah si rubah juga mulai berubah sepat. Keringat dingin melipir santai dari pelipisnya. Entah mengapa saat melihat Yeonjun, ia jadi ketakutan setengah mati. Maniknya melirik gelisah ke seluruh penjuru ruangan. Memastikan bahwa tak ada malaikat pencabut nyawa yang stand by di sekitarnya.
"Lakukan seperti yang sudah kita diskusikan." Bisik Yeonjun.
Tubuh Jihoo bergetar hebat, perlahan ia meletakkan ibu jarinya di atas bibir Yeonjun. Jarak keduanya semakin menipis, dan...
"Gahhh! Maaf aku tak bisa!!" Racau Jihoo tiba-tiba, ia mendorong pelan tubuh Yeonjun lalu jatuh terduduk.
"Ya! Kau ini kenapa? Kau kan tak perlu menciumku secara langsung, gunakan ibu jarimu sebagai pembata--- aishhh." Yeonjun sebenarnya juga merasa panas dingin saat akan melakukan adegan tersebut. Ia tak ingin bibirnya menjadi korban tabrak lari oleh orang lain, kecuali jika orang itu adalah... hmm~
KAMU SEDANG MEMBACA
Cherry Bomb (SooJun/END)
FanfictionChoi Yeonjun, mahasiswa tahun ke tiga yang terkenal sebagai sosok yang selalu berpenampilan nyentrik. Ia sangat percaya diri dan agak sedikit badung. Pemuda ini juga disebut sebagai pangeran kesepian, karena seumur-umur tak pernah menjalin hubungan...