Dokter mungil yang cantik baru saja selesai shift-nya hari itu. Dokter Irene namanya, spesialis bedah yang bukan sembarang bedah, gelar di belakangnya adalah Sp. BTKV*. Irene berjalan keluar dari rumah sakit tempatnya bekerja untuk pulang ke rumah.
Orang-orang yang dia temui sepanjang koridor menyapanya yang dia balas dengan sapaan seramah mungkin, walaupun dia sudah sangat lelah. Akhirnya dia sampai di parkiran dan segera saja dia masuk ke mobilnya. Irene menyandarkan punggungnya di kursi jok mobilnya di balik kemudi, rasanya tulang-tulang di tubuhnya berterima-kasih karena sudah diistirahatkan sejenak.
Irene kemudian melihatnya lagi. Gadis tinggi bermata sipit di area parkiran rumah sakit yang menawarkan barang dagangannya hampir setiap hari. Dia tidak tahu apa yang gadis itu jual, dan dia juga enggan mencari tahu. Irene menyalakan mobilnya dan bersiap untuk berlalu, namun ada yang mengetuk kaca mobilnya.
Dia menurunkan kaca mobilnya, "Ada apa?" Irene bertanya.
"Halo, Kak!" Gadis sipit itu menyapanya ceria. "Saya perhatiin Kakak tuh kayanya ada masalah sama kesehatan Kakak deh. Sering pegel-pegel kan, Kak? Kebetulan saya punya obat mujarab!"
Irene menatapnya tidak percaya, "Kamu jualan obat ilegal?"
"Loh kok ilegal sih, Kak? Ini tuh obat herbal yang udah teruji keampuhannya! Tanya aja sama pasien-pasien di RS sini, pasti pada sembuh karena minum obat ini."
Dokter cantik itu siap mengeluarkan argumen medisnya tapi telepon genggamnya berbunyi, ada panggilan masuk. "Maaf, saya nggak tertarik." Dia kemudian hendak menutup kembali kaca mobilnya namun ditahan oleh si gadis.
"Tunggu!" Dia menahan kacanya, "Ini kartu nama saya, siapa tau Kakak berubah pikiran."
Irene mengambil kartu nama tersebut dan menutup kaca mobilnya. Dia mengambil ponselnya dan menjawab panggilan masuknya. "Halo, Ayah."
"Kak, kamu udah selesai shift?"
"Udah, Yah. Kenapa?"
"Pulang ke rumah Ayah, ya? Kangen deh sama Kakak. Ibu juga kangen tuh sama anak gadisnya."
Irene menghembuskan napasnya perlahan. Pasti Ayahnya mau membahas hal yang sudah terlalu sering dibahas. Dia sampai bosan. "Kakak cape banget, Yah. Pengen langsung rebahan aja di rumah sendiri."
"Di sini juga kamu nggak bakal Ayah suruh nyangkul sawah, Kak." Ayahnya berkata, mau tidak mau membuat Irene tertawa kecil. "Udah, pulang ke sini, ya? Ibu udah masakin banyak loh." Anak gadisnya masih diam dan dia mengeluarkan jurus terakhirnya, "Kayanya ada yang salah nih sama jantung Ayah."
"Astaga, iya, Ayah, iya..." Irene menjawab pasrah. "Kakak ke sana sekarang. Nggak usah banyak drama deh." Kali ini Ayahnya yang tertawa mendengar putrinya.
"Ya udah, hati-hati nyetirnya, Kak."
"Iya, Ayah." Irene melajukan mobilnya ke rumah orang tuanya setelah panggilan telepon dimatikan. Hilang sudah angan-angannya untuk bersantai di rumahnya sendiri. Dia sudah bisa membayangkan percakapan seperti apa yang akan dibahas Ayah dan Ibunya.
***
Irene makan malam bersama orang tuanya. Perlu diakui, dia pun merindukan moment seperti ini. Candaan Ayahnya yang kerap tidak lucu, masakan Ibunya yang juara enaknya. Dia terlalu sibuk bekerja.
Setelah makan malam, mereka berkumpul di ruang keluarga, menikmati kudapan manis sebagai penutup masakan Ibu. "Kak, ambil cangkulnya gih."
"Mau nyangkul apa di sini coba? Ayah nggak punya sawah." Irene meledek Ayahnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Kawin kontrak!
Fanfiction"Awas lo, jangan jatuh cinta sama gue, ya!" "Iya, tenang aja. Saya nggak akan jatuh cinta sama kamu."