"Jadi, kamu pernah kuliah?" Tanya Irene. Saat ini, dirinya bersama Seulgi dan Wendy sedang menikmati dinner mereka di kafe yang dipilih Seulgi. Pacarnya tidak mau diajak makan di restoran mewah seperti kali pertama mereka bertemu di luar. Gadis sipit itu berdalih tidak baik menghambur-hamburkan uang hanya untuk makan.
"Setaun doang, Yang." Jawab Seulgi. "Nggak kuat bayar kuliahnya, duitku cuma cukup buat kebutuhan hidup sehari-hari aja."
"Bohong, Kak." Sahut Wendy yang kini memanggil Irene dengan sebutan Kakak setelah dia tahu usianya lebih tua darinya. "Padahal aku udah nawarin bantuan. Dianya aja yang belagu."
Seulgi menoyor Wendy pelan, "Bukannya belagu, anjir. Tau diri aja gue. Ya kali gue ngandelin lo buat kuliah."
"Kan nggak cuma-cuma, Gi. Gue waktu itu bilang lo bisa balikin duitnya pas lo udah kerja, anggap aja pinjeman. Bayarnya dicicil juga nggak apa-apa. Yang penting lo nggak putus kuliah saat itu."
"Ya udah sih, udah lewat juga." Putus Seulgi lelah. "Kan gue udah kerja juga sekarang."
Wendy menghela napas dan melirik Irene sesaat, "Kalo gue jujur di depan pacar lo, bakal kesinggung nggak lo?"
"Hah? Jujur apaan? Membahayakan hubungan gue sama Irene nggak?"
Irene tetap bersikap tenang, "Kamu ngerasa bikin salah nggak? Selingkuh sama anak kantor mungkin?"
"Sembarangan kalo ngomong!" Kesal Seulgi. "Lo cepetan ngomong deh, Wen, sebelum gue siram pake sambel."
Wendy tertawa, "Nggak, bukan itu, Kak. Kalo Seulgi macem-macem aku yang paling dulu rebus dia bareng sama indomie."
"Sadis anjir!" Cela Seulgi. "Jadi apaan?"
"Gini... lo kan masuk kantor jalur orang dalem ya, baca: gue." Kata Wendy. "Tenang, lo aman kok. Cuma nih ya, karir lo bakal susah berkembang kalo nggak dibarengin sama gelar di belakang nama lo. Gue ngerti lo kompeten ngerjain ini-itu, tapi perusahaan juga punya standar."
"Intinya lo nyuruh gue kuliah lagi kan?" Tanya Seulgi. "Gajian aja belum, Wen,"
"Ya gue ngasih tau aja dari sekarang biar lo nggak kaget. Gaji di kantor kita lumayan kok, grade lo disetarakan sama anak-anak yang lain, kaya Ayu dkk gitu."
Seulgi manggut-manggut, "Berapa emangnya?"
"Cukup lah buat biaya hidup sama kuliah." Sahut Wendy. "Walaupun belum dua digit kaya gue." Pamernya sambil bercanda, "Dan nggak mungkin sampe tiga digit kaya Kak Irene juga."
"Apaan sih maksudnya dua-tiga digit?" Tanya Seulgi penasaran.
"Dua digit itu kisaran belasan sampe puluhan juta..."
Seulgi membelalakkan matanya, memotong omongan Wendy, "Kalo dua digit aja segitu, berarti tiga digit itu..." Dia menatap pacarnya, "Gaji kamu sebulan ratusan juta?!"
"No comment," Sahut Irene santai. "Nggak relevan juga."
"Nggak relevan gimana? Kamu pacaran sama yang bergaji satu digit doang, Yang. Minder nih aku jadinya."
"Makanya ikutin saran Wendy, kamu kuliah lagi sampai dapet gelar kali ini. Biar karirmu naik, otomatis gajimu juga bakal naik."
"Kuliah itu nggak sebentar, Sayang. Kalo pun missal aku udah lulus, karirku naik, gajiku tetap paling mentok di dua digit."
"Seulgi," Irene menghela napas pelan, "Udah deh. Nggak usah bahas-bahas gaji."
"Ya tapi kan –"
"Gi, gue ngomong gini ke lo nggak bermaksud bikin lo jadi insecure. Justru niat gue ngasih lo motivasi biar lo lebih greget gitu."
KAMU SEDANG MEMBACA
Kawin kontrak!
Fanfiction"Awas lo, jangan jatuh cinta sama gue, ya!" "Iya, tenang aja. Saya nggak akan jatuh cinta sama kamu."