Irene baru saja selesai memeriksa kondisi Ayahnya, dan dia puas dengan hasilnya. "Anak Ayah senyum-senyum, kaya yang lagi kasmaran aja nih. Kakak udah punya pacar, ya?"
"Kakak tuh seneng karena kondisi Ayah membaik, gak ada komplikasi. Paling nanti pas dr. Bowo visite, Ayah udah boleh pulang deh."
"Kirain karena Kakak punya pacar." Goda Ayahnya.
Irene menggigit kecil bibirnya, tanda dia sedang bimbang. Dia ragu-ragu, haruskah dia memberi tahu Ayahnya perihal perjanjiannya dengan Seulgi? Ya, gadis sipit penjual obat ilegal itu bernama Seulgi. Mereka sepakat untuk pura-pura pacaran, dengan syarat Irene harus membayar sebesar sepuluh juta perbulan. Uang sebanyak itu bukan masalah, toh penghasilannya sebagai dokter jantung jauh di atas nominal tersebut.
Namun dia masih gamang, karena pada dasarnya yang dia lakukan adalah kebohongan. Benarkah yang dia lakukan ini demi membahagiakan Ayah dan Ibunya? "Kak, kok malah bengong?"
"Eh? Bukan bengong, Yah. Kakak lagi mikir." Irene mengelak, "Ibu ke mana, ya?"
"Ayah suruh pulang. Kasian jagain Ayah terus, Ibu pasti capek." Lelaki itu mengeluh, "Kamu nggak bisa bilang sama direkturmu buat ditambah tempat tidur yang nyaman di ruang perawatan pasien, Kak?"
"Rumah sakit mana ada yang nyaman sih, Yah?" Irene mendengus geli. "Makanya jangan mau sakit."
"Lah, siapa juga yang mau sakit sih, Kak?"
"Iya, iya..." Dia mengalah, "Sekarang makannya harus bener-bener dijaga. Gak boleh makan sembarangan lagi. Pola tidur juga diatur, jangan kebanyakan bergadang nonton bola. Kurangin kopi, rutin olah raga tapi yang ringan-ringan aja... Yah? Ih, Ayah kok nggak dengerin Kakak sih?" Irene cemberut.
Ayah tertawa melihat anaknya. "Baik, Bu dokter." Dia mengacak rambut Irene dengan sayang. "Kamu kalo cemberut gini kaya anak SMP, Kak. Imut."
"Aku udah 30 ya, Yah."
"Masa? Kok belum punya pacar?"
Seperti sudah direncanakan, tiba-tiba ada yang mengetuk pintu. Irene mempersilakan yang di luar untuk masuk, karena dia pikir itu Dr. Bowo yang mau visite lebih cepat. Tapi orang yang datang bukan Dr. Bowo atau petugas medis lainnya. Irene dibuat terkejut oleh kedatangan orang tersebut.
"Selamat pagi, Om." Seulgi menyapa Ayahnya Irene dengan riang. Dia datang membawa parsel buah-buahan. Irene mendelik melihat gadis ini dengan santainya berkunjung menemui Ayahnya tanpa mengabarinya lebih dahulu.
"Pagi juga," Ayah menyapanya bingung. "Kamu siapa, ya? Teman Kakak bukan?" Dia bertanya ke anaknya.
"Ayah, Kakak ada perlu sebentar." Irene menarik lengan Seulgi dan agak menyeretnya ke luar kamar perawatan. Ayahnya memperhatikan dengan penasaran sampai kedua gadis tersebut menghilang di balik pintu.
Irene membawa Seulgi ke salah satu kamar jaga untuk dokter dan perawat atau biasa disebut on-call room. Dia melongok ke dalam dan untungnya tidak ada orang di sana. Segera ia menarik Seulgi ke dalam.
"Ngapain lo bawa gue ke sini? Mau berbuat mesum lo, ya?" Seulgi iseng bertanya.
"Kamu ngapain datang tanpa diundang?" Irene balik bertanya.
"Jaelangkung kali gue."
"Saya nggak lagi bercanda." Dia berkata dengan kesal. "Saya belum bilang sama orang tua saya tentang kita. Kamu nggak bisa muncul mendadak kaya tadi. Kita bahkan belum membahas apa yang harus kita jawab kalo mereka nanya-nanya."
Seulgi mendecih, "Lo lupa? Lo yang nyuruh gue jenguk bokap lo." Dia merogoh sakunya dan mengeluarkan ponselnya, "Nih WA dari lo semalam."
Irene membaca pesan yang dia kirimkan. Sepertinya benar dia lupa. Bunyi WA-nya jelas meminta Seulgi datang menjenguk Ayahnya, bahkan dia juga yang menyuruh Seulgi untuk membawa parsel buah-buahan untuk Ayah.
KAMU SEDANG MEMBACA
Kawin kontrak!
Fanfiction"Awas lo, jangan jatuh cinta sama gue, ya!" "Iya, tenang aja. Saya nggak akan jatuh cinta sama kamu."