20. something we don't know

55 10 3
                                    

Janine menunduk gusar dengan perasaan was-was, matanya menatap kaca mobil itu dengan keadaan tak tenang. Keringat dingin membanjiri tubuhnya bahkan nyala pendingin tak lagi terasa, ia memandang gelisah menatap orang keluar-masuk mini market itu, hingga tiba presensi seorang laki-laki dengan jaket bombernya membuka pintu kemudi sambil membawakan kantong plastik berisi belanjaan.

"Je, nih es krim kesukaan kamu."

Janine menoleh gugup menatap es krim rasa stoberi itu lalu menatap pada si pemberi.

"Nih ambil! malah diliatin doang," laki-laki itu berucap dengan nada sedikit memaksa. Janine menarik napasnya lalu mencoba berbicara pelan.

"Kamu kan tahu aku nggak pernah suka sama rasa stobe—"

Dito menatap Janine diam beberapa saat, Janine sudah tau akan berakhir seperti apa setiap ia protes akan hal apapun.

"Oh, jadi kamu nolak dengan apa yang sudah aku kasih ke kamu?" nada Dito berubah membuat jantungnya terkejut, perasaan ini selalu saja muncul.

"B—bukan gitu cuma..."

"Niat aku itu baik ke kamu Je, tapi kenapa kamu sering banyak mau sih, terima aja kenapa sih. Kamu nggak bisa banget menghargai pemberian aku! Mentang-mentang anak orang kaya, seenak nya aja sama orang lain, mami kamu nggak ngajarin itu ya?!"

Janine menggeram walaupun masih diliputi dengan perasaan takut bukan main, matanya menoleh mencelang Dito dengan perasaan marah. Ia tak masalah dihina, diinjak-injak, dan selama ini merasa martabatnya sudah tak ada arti lagi di hadapan lelaki tak bermoral ini. Tapi jangan membawa mami ke dalam pembahasan ini.

"Kenapa kamu? Nggak suka dengan apa yang aku bilang ke kamu? Apa yang aku bilang itu fakta."

Dito menjawab dengan nada tingginya. Dia selalu sama, selalu ingin menang, selalu ingin dimengerti, dan merasa paling benar. Janine memang sudah lelah, tapi gadis itu terlalu lemah untuk mengatakan tidak. Ia terlalu lemah untuk tidak berbelas kasih terhadap orang lain. sudah tiga hari semenjak laki-laki tak tahu malu ini menemuinya setiap waktu, mengemis-ngemis seperti orang gila meminta Janine untuk kembali ke dalam pelukannya.

Janine tahu betul pelukan itu bukan seperti pelukan nyaman dan empuk tapi pelukan dengan penuh duri tajam semak belukar yang akan terus melukainya. Janine juga tahu bagaimana reaksi Lyla, Jade, dan Abby saat tahu ia kembali pada si psikopat gila Dito. Makanya, ia menyembunyikan rahasia ini dengan sangat rapat, berupaya semuanya tak tercium teman-temannya. Terutama kepada Jade.

"Aku...capek, Dit."

Janine menatap Dito tepat pada kedua bola matanya. Lelaki itu diam tak menjawab, tapi Janine tahu betul perangai Dito, mata tanpa makna itu berubah menjadi marah, lekuk wajahnya mengeras merasa tak suka atas apa yang ia dengar.

"Maksud lo?!"

Cara bicaranya berubah, Janine bisa menebak setelah ini apa yang akan menimpanya. Ritme-nya selalu sama.

"Lo mau ninggalin gue lagi? Lo mau putus?! Ck." Dito berdecih, mencengkram kedua pipi Janine dengan keras dan bisa Janine rasakan seberapa perih dan sakitnya mulai menjalar.

"Kita nggak bakal kayak gini kalau lo nggak nolak pemberian dari gue," ucap Dito tepat pada telinga Janine, Janine menahan air matanya ini bukan main sakitnya.

"Lo kenapa nggak pernah menghargai gue, sih?! Lo kegatelan sana sini, lo sok baik ke semua orang, nolak pemberian gue, mutusin gue tiba-tiba. Kenapa sih Je?! KENAPA?!"

Janine menahan tangis nya, gadis itu memejamkan matanya menolak untuk menatap lawan bicara nya, jantungnya berdebar merasa takut bukan main. Dito melepas kasar cengkramannya dari wajah Janine hingga kepala gadis itu terhantam kaca pintu mobil.

𝐖𝐀𝐑𝐍𝐀Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang