Shabira (1)

17 5 0
                                    

Tidak ada yang kebetulan jika takdir Allah mengatakan bahwa ia jodohmu.

- Sabhira -

•••••


Alvaro Nicholas Hamizan, aku tahu namanya setelah kejadian tahun lalu dari cerita Bella. Perkataannya untuk tidak mencari tahu lebih lanjut lagi tentang dia, aku menurutinya. Tapi ada hal yang membuatku terperosok dalam jebakan 4 bulan lalu sebelum aku dipindahkan ke kantor cabang yang di Bogor.

Saat ini aku masih terbayang wajahnya apalagi ketika dia datang menghampiri untuk membantuku. Terpikat dengan tampan dan beraninya dalam memimpin, apalagi kini dia menjadi seorang supervisior.

Pada saat itu ada peristiwa yang kembali terjadi yaitu teman satu kantor aku yang tidak tahu diri katanya menyukaiku, dia juga menyatakan hal itu secara terang-terangan kepadaku pada saat jam istirahat kerja.

“Maaf Kak, saya kan udah bilang gak mau pacaran.” Jawabku tegas.

Dia masih ngotot dan berusaha menarik perhatianku. Aku tak menggubrisnya, kemudian lenganku ditahan. Aku segera menepis itu, tapi apalah daya dia terlalu kuat untuk tenaga laki-laki.

Aku takut, menggerutu dalam hati dan berharap ada seseorang yang membantuku lagi seperti dulu. “Lepasin Kak! Sakit,” teriakku.

“Gua udah minta baik-baik ya sama lo, tapi kenapa lo jual mahal? Kenapa huh?” ucapnya dengan nada yang semakin meninggi.

“Maaf Kak, dari awal kan saya....”

“Apa? Maaf, maaf. Dasar munafik, sok cantik lo!” kesalnya.

Dia masih mencekal lenganku, aku juga berusaha menepiskan tangannya tapi dia semakin kuat memegang lenganku.

“Sok alim lo jadi orang, emang dengan pakaian lo yang serba tertutup itu buat gue terkesima? Apaan ini rambut di tutup-tutupin? Biar dikira sholehah ya?” katanya yang memegang hijabku.

“Sok suci lo. Pasti lo nutupin topeng kan supaya gak ketahuan?” lanjutnya.

“Terserah Kakak ya mau ngomong apa, yang penting lepasin tangannya!” kataku yang masih berusaha.

“Gue gak akan lepasin lo sebelum....” ucapannya terpotong karena tiba-tiba ada orang datang yang langsung menepiskan cekalan tangannya. Aku bersyukur akhirnya terbebaskan dari manusia gila ini.

“Sebelum apa?” ucap lelaki yang kini sedang memelintir tangannya.

Dia meminta ampun, tapi tak di gubrisnya. Aku mengangkat kepala untuk melihat siapa yang menolongku, ternyata dia Alvaro.

Setelahnya lelaki brengsek itu meminta maaf kepadaku karena paksaan dari Alvaro, aku masih melihat mukanya yang kesal. Kemudian dia pergi begitu saja dan menghiraukannya.

“Kamu gak apa-apa?” tanya Alvaro.

“Oh, mmm... gak apa-apa kok. Cuma takut,” ucapku, padahal dalam hati lenganku masih merasa kesakitan.

“Oh ya sudah, lain kali hati-hati ya! Saya permisi.” Ucapnya dengan wajah datar.

“Mmm. Pak Alvaro tunggu!” kataku saat dia mulai pergi.

Dia membalikkan badan, "terima kasih ya".  Ucapku, kemudian ia mengangguk lalu pergi meninggalkanku yang masih menatapnya.

Aku masih memandangnya dari jauh, bergumam dalam hati. Ternyata masih ada ya seorang lelaki baik yang memiliki jiwa pemimpin, bijaksana, lemah lembut tutur katanya, tapi juga tegas dan disegani oleh rekan-rekannya, membuatku mendambakan sosok imam seperti dirinya. Khayalanku semakin tinggi saat ia sudah tak menampakkan dirinya di hadapanku.

Walau aslinya dia sangat cuek ketika bekerja. Tapi saat itu dan setelah sering melihat sikap dan pribadinya, aku malah memendam perasaan padanya. Apalagi saat ia menjadi ketua pelaksana saat bazar kemarin.

*****

"Aqeela? Saya minta tolong untuk mengcopy file ini ya sekalian di print. Kalau sudah, saya tunggu di meja kerja saya ya." Titah Alvaro yang menghampiriku.

"Oh, baik Pak!" jawabku.

Tak menunggu waktu lama, aku pun mendekati meja printer yang disediakan kantor untuk ngeprint dan fotokopi.
Setelah selesai aku langsung menyerahkan apa yang disuruhnya. "Ini Pak, sudah saya kerjakan." Kataku.

"Terima kasih ya," dia mengambil berkas dari tanganku yang hanya melirik sekilas.

"Sama-sama, kalau begitu saya permisi Pak!" Pamitku kemudian pergi.

"Tunggu!" cegahnya.

"Ada apa Pak?" tanyaku. Aku berhenti sebelum tepat membuka pintu.

Kemudian dia mengatakan sesuatu sampai kita tidak menyadari pembicaraannya diluar pekerjaan dan membuat sampai tertawa.

"Bagus ya, kerja sambil ketawa-ketawa." Ucap seorang dengan nada perempuan.

"Ngapain lo disini? Lagi godain Alvaro ya?" tanyanya sinis sambil mendekat menatap wajahku.

"Nggak, Bu." Jawabku gugup.

"Kerja! Bukannya cengengesan!" Teriaknya sambil menggebrak meja. Aku hanya diam.

Saat aku hendak pergi, tapi Alvaro malah mencegahku. "Re, lo apa-apaan sih? Buat gaduh kantor aja kerjaannya." Timpal Alvaro.

"Kok lo belain dia sih?" tanyanya dengan wajah kesal.

"Gak penting, lo ada urusan apa ke sini?" tanya Alvaro tegas.

"Gue cuma disuruh sama Bos lo untuk ikut meeting bareng klien. Sekarang ya Mas Alvaro!" Katanya dengan nada sok manis.

"Buat lo, pergi sana, balik kerja!" titahnya kepadaku dengan nada tinggi.

"Saya permisi, assalamua'laikum." Tanpa mendengar jawaban pun aku pergi meninggalkan ruangannya. Sampai di meja kerja, aku duduk dengan terengah-engah.

"Kenapa lo? Kaya di kejar-kejar? Ada apa sih?" tanya Bella yang duduk di sampingku.

"Biasa, mak lampir. Nanti gue cerita." Jawabku sambil memundurkan kursi karena terhalang penyekat meja.

"Hati-hati lo!" titahnya.

SHABIRA (Revisi)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang