Terlalu banyak tergores luka, sampai akhirnya tidak ingin berharap lebih tentang cinta, apalagi cintanya manusia.
- Shabira -
•••••
"Maafin Alvaro ya, dia suka begitu kalau lupa. Panik gak jelas," ucap Ibu yang menanggapi kelakuannya."Iya gak apa-apa Bu, tapi kalau di kantor malah kelihatannya santai banget. Beda ya ternyata," jawabku.
Ibu hanya tertawa, aku yang menyadari itu langsung meminta maaf.
"Maaf Bu. Za gak bermaksud,"
"Gak apa-apa Za, banyak yang bilang kok katanya kalau di kantor Bang Al sangat cuek, mukanya datar banget ya?" tanya Ibu yang masih dengan senyumnya yang khas.
"Hehe, iya Bu. Tapi kok Ibu tahu?" tanyaku kembali.
"Ada saudara Ibu yang bilang kebetulan kerjanya bareng. Yah begitulah Alvaro cuek dan dingin seperti Papanya." Jawabnya, kemudian Ibu mulai bercerita.
"Mungkin kamu juga harus tahu Za, kalau Bang Al sudah bicara sama Ibu. Katanya dia mau menikah." Lanjutnya, aku masih diam mendengarkan.
"Awalnya Ibu kaget, karena semenjak gagal tunangan, dia sangat membatasi diri dan yang terang-terangan mengatakan cinta pun dia tolak semua. Ibu gak tahu awalnya seperti apa, tapi saat dia sudah membuka hati Ibu senang mendengarnya."
"Ternyata, dia juga sama terlukanya denganku. Tapi mungkin luka aku yang lebih dalam, karena aku lihat keluarga dia sangat harmonis." Pikirku dalam hati dengan ego tinggi.
"Setelah tahu, dia cerita bahwa ta'arufnya belum dijawab sampai sekarang juga." Ibu menghentikan ucapannya, kemudian menatapku masih dengan tersenyum.
Aku yang mengerti, kemudian menunduk dan kembali berkata maaf.
"Ibu tahu perasaan kamu, Za. Gak apa-apa. Karena semua hal tidak harus terburu-buru." Katanya, saat aku masih terlihat menunduk.
"Za, punya alasan. Tapi mungkin alasannya seperti egois. Maafin Zakia ya Bu." Belum selesai aku berbicara, tapi Ibu kembali memotong ucapanku.
"Gak apa-apa. Bang Al sudah cerita sama Ibu," katanya kemudian mendekat duduk di sebelah ku dan mengusap pundakku.
Aku terenyuh dengan sikapnya yang sangat manis dan terbuka kepadaku. Mungkin tidak semua mertua jahat, tapi masih ada mertua yang baik. Dan perlakuan Ibu sudah membuka mata hati ku tentang persepsi mertua.
"Ibu boleh cerita gak? Siapa tahu kamu bisa mengambil hikmahnya." Lanjutnya.
Aku hanya menjawab dengan senyum dan anggukan kepala.
"Pasti Bang Al juga belum cerita sama kamu ya. Saat Ibu tahu kamu yang selama ini diceritakan oleh Bang Al, Ibu teringat dengan kejadian sebelum menikah dengan Papanya." Ucapnya deongan hati-hati dan mulai serius.
"Ibu juga pernah gagal Za, sama seperti Mamah kamu. Tapi bukan berarti kegagalan itu membuat kita terpuruk, malah harus sebaliknya. Harus bangkit. Apalagi ada anak yang Allah titipkan.
"Mungkin semua perasaan orang tua ketika harus berpisah juga sama sakitnya. Ibu juga trauma, sampai Ibu gak mau untuk menikah lagi." Katanya dengan masih menatapku.
"Jadi, mmm, Bang Al punya Kakak?" tanyaku dengan hati-hati.
Ibu mengangguk, kemudian dia kembali bercerita. "Tiga tahun membesarkan anak sendirian di usia 23 tahun, dimana pada masa itu anak-anak muda masih bersenang-senang entah dengan dunianya sendiri maupun keluarganya. Nongkronglah, jalan-jalan, bahkan bisa belanja sepuasnya. Sementara Ibu harus mencari uang buat tumbuh kembangnya Mas Alfi, kakaknya Alvaro. Saat itu Ibu menikah umur 20 tahun.
KAMU SEDANG MEMBACA
SHABIRA (Revisi)
Teen FictionAqeela Shabira Zakia, nama lengkapku. Yang kini sedang mencari partner hidup, akhirnya Allah pertemukan dengan sosok lelaki impianku yaitu Alvaro Nicholas Hamizan yang pada saat itu adalah atasanku. Pertemuanku dengan Alvaro, membuatku membuka hati...