"Bukankah perempuan lebih menyukai bukti daripada janji?
Saya membuktikannya sekarang."- Alvaro -
•••••
Di perjalanan menuju vila, Alvaro menghentikan mobilnya tepat depan mini market. Entah apa yang mau dia beli, hanya Azri yang berani bertanya.
"Lo mau beli apa? Bukannya kita harus beli jagung ya." Tanya Azri yang heran.
"Iya, keburu malam tahu Pak. Kasihan juga Kia kesakitan." Timpal Bella dari kemudi belakang.
"Beli cemilan, bentar." Jawabnya kemudian turun dari kemudi bergegas lari.
Setelah Alvaro menghilang dari pandanganku, Bella dan Azri mulai bertanya karena kejadian tadi. "Ki, lo jawab jujur deh." Kata Bella yang memulai.
"Kalian pacaran ya?" lanjut Azri.
"Ceritanya gue diinterogasi nih? Gue gak ada hubungan sama Pak Alvaro. Serius" Jawabku tegas dengan membentuk huruf V.
"Lah terus kenapa main ATV lama banget, terus tadi lo manggil dia apa? Mas? Sejak kapan lo?" tanya Bella nyerocos.
"Oh pantes sama gue gak mau, ternyata udah punya calon." Timpal Azri.
"Gak, tadi tuh ATV yang gue naikin mati mesinnya. Terus ada Pak Alvaro tiba-tiba dateng nawarin boncengan. Ya daripada gue sendiri celingak-celinguk, ya gue ikut. Lagian kalian ninggalin gue, lo juga Bella malah sama Azri." Jelasku tegas.
"Terus panggilan Mas?" tanyanya kembali yang tak habis karena rasa penasaran mereka.
"Mas ya? Salah denger kali lo. Masa iya gue manggil dia Mas. Haha gak mungkin kan ya?" elakku untuk mengalihkan pertanyaan yang lain.
Saat Bella kembali membuka suara, Alvaro datang dengan membawa kantong belanja kanan kiri ditangannya. Dia datang mengetuk pintu belakang yang ditempati Azri.
"Buset deh banyak banget lo belanja. Tapi gak apa-apa deh, luamayan buat ngemil di Vila. Iya gak?" ucap Azri kemudian mengajukan pertanyaan entah kepada siapa.
"Nih, simpan di belakang." Kata Alvaro memberikan satu kantong, kemudian tangan lain mencari sesuatu entah apa dalam tas belanjanya itu.
"Eh ini satu lagi Ri. Oh iya mau beli jagung 'kan? Tuh di depan sana ada yang jualan jagung Bapak-bapak sama anaknya. Lo borong aja semua, ini duitnya." Katanya setelah memberikan kantong, kemudian dia membuka dompet dan memberikan uang berwarna biru beberapa lembar.
"Ya udah ayo, masa gue bawa jagung sebanyak itu sendiri." Kata Azri setelah menerima uluran uang yang diberi Alvaro.
"Sama Bella aja." Jawabnya kembali datar, kemudian menyandarkan kepalanya dengan menyilangkan lengan setelah Azri bangkit dari duduknya.
Mereka kemudian pergi, dan Alvaro malah memejamkan matanya. "Jangan tidur, udah sore. Pamali!" titahku setelah saling terdiam.
"Gak, Cuma merem aja." Jawabnya yang masih menutup mata.
Aku tak mengalihkan pandangan di depanku lewat pantulan cermin, dia terlalu tampan untukku yang biasa saja. Aku menjadi tak percaya diri kalau memang beneran jatuh cinta sama dia, pasti sainganku juga banyak.Kulitnya yang lebih putih dariku, alis yang tebal dan juga hidung yang mancung membuatku iri sebagai seorang perempuan. Apalagi kebaikan hatinya yang senang menolong orang lain, membuatku membuka mata tentang artinya berbagi.
"Gak usah liatin saya begitu. Emang ganteng kok." Katanya dengan PD kemudian membuka mata.
"PD banget," jawabku sambil melengos menatap luar kaca.
Dia bangkit kemudian keluar dari mobil, entah mau ke mana aku tak peduli. "Buka!" Katanya yang tiba-tiba di depan pintu yang aku tumpangi.
"Astaghfirullah, kaget tahu gak." Dengusku kesal. Dengan berat hati aku membukakan pintu untuknya.
"Mana tangan kamu yang lecet?" tanya dia yang sudah memegang obat merah.
"Udah sembuh kok." Jawabku bohong.
"Mana! Sini, biar saya kasih obat dulu. Takut infeksi soalnya."
Aku menuruti perintahnya, kemudian dia dengan hati-hati memberikan obatnya. Saat aku meringis kesakitan dia malah menatap mataku, kemudian bertanya. "Sakit banget ya?"
"Gak, segini doang. Biasa aja kok." Jawabku dengan sok kuat padahal menahan perih.
"Akting bohongnya keren banget ya, ini pakai hansaplast dulu. Biar kotoran lainnya gak masuk." Katanya memberikan dua lembar yang sudah dibukanya.
"Terima kasih ya, Pak." Ucapku setelah selesai mengobatiku.
"Belum, kakinya mana? Biar saya olesi minyak urut." Jawabnya yang menarik kakiku tanpa permisi.
"Aw, sakit banget." Rengekku saat dia memijatku.
"Jangan sungkan panggil Mas, saya lebih suka kalian memanggil nama daripada Bapak. Inget ya Za, perkataan saya tadi beneran serius, kalau kamu tidak percaya gak apa-apa. Tapi saya akan buktikan itu." Katanya menatapku.
"Bukan tidak percaya, tapi lebih menjaga untuk tidak langsung percaya sama orang baru. Walau sudah kenal lama, tapi aku mengenal Mas hanya sebagai rekan kerja." Jawabku.
"Makanya saya mau mengenalmu lebih jauh. Boleh ya?" tanya dia dengan tatapan seperti memohon.
KAMU SEDANG MEMBACA
SHABIRA (Revisi)
Teen FictionAqeela Shabira Zakia, nama lengkapku. Yang kini sedang mencari partner hidup, akhirnya Allah pertemukan dengan sosok lelaki impianku yaitu Alvaro Nicholas Hamizan yang pada saat itu adalah atasanku. Pertemuanku dengan Alvaro, membuatku membuka hati...