Shabira (4)

9 4 0
                                    

Tidak ada keseriusan bagi seorang yang memiliki trauma. Tetap saja menganggapnya hanya canda.

- Shabira -

•••••

"Zakia, tunggu!" cegah Alvaro saat hendak pergi.

Aku hanya diam, tidak membalikkan badan kepada yang memanggil sampai dia menyebutkan niatnya apa.

"Boleh saya bicara sama kamu?" tanyanya yang masih diam di tempat.

Kemudian aku membalikkan badan, dengan tujuan membolehkan dia untuk bicara kepadaku.

"Tapi gak di sini, berdua. Bisa?" lanjutnya.

"Maaf, Pak. Jika bukan kepentingan pekerjaan saya tidak bisa. Saya permisi, assalamualaikum." Jawabku acuh kemudian pergi tanpa melihat dia yang masih diam berdiri.

“Kamu bilang jika saya serius sama kamu, saya harus bertemu dengan orang tuamu. Boleh kalau minggu besok saya ke sana?” teriaknya yang masih diam di tempat.

Aku refleks membalikkan badan, menghampirinya untuk tidak melanjutkan perkataannya lagi. Orang-orang di sekitar yang berlalu lalang menatap ke arah kami, sungguh aku sangat malu. “Pak, please, jangan bicara ngaco lagi. Orang-orang sudah tahu kalau Bapak sudah punya tunangan. Saya gak mau disebut pelakor. Paham ‘kan, Pak?” Ucapku memohon di hadapannya.

“Hah? Tunangan?” jawabnya kaget.

“Iya, sudah sana jangan dekat-dekat. Nanti sekantor rame lagi.” Kataku dengan mengusirnya.

“Kamu salah paham, biar saya jelasin.” Potongnya sambil mencegahku yang hendak pergi.

“Tidak ada yang perlu dijelaskan, Pak. Menurutku semua sudah jelas. Permisi!” kemudian aku melangkah pergi menjauh darinya yang masih mencoba memanggilku.

*****

Setelah pernyataannya kemarin, membuatku semakin bimbang. Pikiranku hanya dipenuhi dengan banyak tanya yang tak ada jawabannya.

"Ki, lo kenapa?" tanya Bella saat makan siang.

"Ha? Gak apa-apa." Jawabku bohong.

"Ceritalah, kan biasanya juga lo cerita sama gue kalau lagi ada masalah." Desak Bella.

"Masalahnya tuh gue bingung. Argh, pusing gue." Jawabku dengan sedikit kesal.

"Lah? Gimana sih lo? Aneh tahu gak."

"Bel," tanyaku yang tidak yakin.

"Iya?" jawabnya dengan serius.

"Gak jadi deh nanti aja."

"Ish, Kiaaa... Lo tuh ya, kalau ngomong jangan bikin orang penasaran, bisa?" gerutunya.

"Maaf. Nanti deh gue cerita. Disini bukan waktu yang tepat." Jawabku

"Tapi lo janji ya mau cerita." Paksanya, sambil mengacungkan jari kelingkingnya.

"Iya." Jawabku dengan nada malas.

SHABIRA (Revisi)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang