Shabira (17)

4 2 0
                                    

"Perlu waktu untuk sendiri dalam hubungan, tapi bukan untuk masing-masing berbeda jalan. Setelah selesai kembali lah ke jalan yang semestinya."
-Shabira-

•••••

Setelah seminggu berlalu, aku tidak terlalu banyak berinteraksi dengannya, kalau di kantor ketemu paling hanya menyapa "say hai"  biasa aja. Jujur aku masih malas dengan penjelasannya kemarin.

Mungkin dia juga tahu bahwa aku menghindar darinya, dia seperti tidak enak hati dan merasa canggung atas sikapku yang seolah-olah tidak terjadi apa-apa.

Sampai di kantin pada jam istirahat biasanya kami (aku, Bella, Agni, dan Hera) makan siang di kantin. Tapi karena aku melihat ada Alvaro yang sedang makan bersama rekannya dan ada juga wanita disana, aku mengurungkan niat dan segera berbalik arah menjauh dari kantin.

Saat mau melangkah mundur, ada tatapan yang menyadari kepergianku. Aku pura-pura tidak tahu dan berlalu meninggalkan mereka.

"Eh Ki, mau kemana?" tanya Hera karena melihatku langsung berbalik arah.

"Mmm, kayanya gue pengen makan bakso deh di luar, enak kali ya." Alibiku.

"Hm, oh ya. Karena lo ngomongin bakso gue jadi pengen deh. Gue ikut ya!" kata Bella kemudian menyusul.

Aku tahu Bella melakukan itu bukan semata-mata hanya ingin memakan bakso, tapi karena dia tahu apa yang sekarang aku hadapi.

"Gue duluan ya, mau nyari bakso." Ucapku lagi dan segera pergi untuk keluar.

"Ikut dong! Gue juga mau." Kata Agni menyusul. Hera yang bingung akhirnya ikut memilih bersama kami.

****

Setelah makan bakso kami bergegas melaksanakan solat sebelum bertempur dengan deadline yang sudah menunggu.

"Ki, tadi gue dapet kabar katanya tim kita disuruh observasi." Kata Hera setelah kembali ke ruangan kerja.

"Ha? Observasi apaan? Maksudnya gimana sih?" tanyaku bingung.

"Tadi apa ya? Eh Bel, apa sih tadi?" tanya kembali Hera yang kebingungan kepada Bella.

"Riset, lo disuruh turun ke lapangan. Disuruh Bapak kesayangan, Pak Oji. Itu surat tugasnya, lo harus tanda tangan." Jelas Bella sembari menunjukkan kertas yang dimaksudnya.

"Kok gue sih? Sendiri gitu?" tanyaku yang merasa malas mendapat tugas seperti ini.

Bella dan Hera hanya mengangkat bahunya, dan aku hanya bisa pasrah. "Oh ya, jam empat selesai jam istirahat solat, nanti ada meeting buat bahas plan ini, nanti lo akan tahu siapa aja yang ikut. Tadi sih cuma bilang gitu." Tambah Bella.

Ya mau tidak mau aku harus menerima itu, bagaimanapun juga aku tidak bisa untuk menolak. Walau aku tidak suka untuk lembur lagi.

Seperti yang diperintahkan, setelah melaksanakan solat aku izin untuk meeting bersama staff lain terutama kepada Bella agar dia tidak menunggu.

Setelah sampai ruang meeting tepat di depan pintu ada tangan yang lebih besar mau membuka pintu terserbut. Beruntungnya tangan kecilku belum menyentuh benda itu. Kalau aku berusaha untuk membuka pintu, tangan kami pasti bersentuhan. Nanti yang terjadi malah seperti adegan film yang detik selanjutnya adalah tatap-tatapan.

Kembali ke pintu, aku masih diam mematung tak berani menengok siapa yang membuka pintu itu. Setelah terbuka aku hanya ikut masuk kemudian mencari tempat duduk.

Tapi sebentar, disini kami hanya berdua. Apa yang lain belum datang. Berarti orang yang membukakan pintu tadi adalah, orang itu membalikkan badan dan ternyata Alvaro. Bodoh, kenapa aku tidak mengenalinya. Sungguh aku dijebak.

Rasa canggung menghampiri kami, tidak ada suara maupun gerakan. Aku hanya diam menunduk, merasa waktu sangat lama sampai leherku pegal.

"Gak pegel tuh lehernya nunduk terus?" tanya dia memecahkan keheningan antara kami.

Aku yang kaget sontak melihat ke arah bicara, ternyata dia sedang menatapku. Masih dengan tatapan sama, tapi aku benci melihatnya.

"Gak," jawabku seadanya dengan pandangan ke arah lain.

"Masih marah? Udah tiga hari lho kita gak ada komunikasi." tanyanya yang mulai membahas masalah itu.

"Gak," kataku dengan jawaban yang sama.

"Kalau begitu bisa bicara untuk menyelesaikan masalahnya?" tanya dia kembali yang mungkin masih melihat ke arahku.

Aku meliriknya sebentar, kemudian mengalihkan pandangan lagi. "Ini kantor, bukan rumah."

"Saya tahu, makanya saya menyuruh kamu kesini lebih awal agar saya punya waktu untuk bicara sama kamu." Jawabnya tanpa dosa.

Ini kantor, masih jam kerja karena ada meeting tapi kenapa dia seenaknya menggunakan jam itu hanya untuk omong kosong. Laki-laki macam apa dia.

"Maaf, tapi saya sibuk. Saya kesini hanya untuk memenuhi perintah. Kalau mau bicarakan itu mungkin bisa diluar." Kataku dengan bahasa formal, ditambah wajahku yang mulai kesal.

"Maaf ya Za, sebelumnya. Sebenarnya saya yang nyuruh Bella buat dateng kesini. Tapi saya juga udah izin kok untuk memakai ruangan ini." Ucapnya yang membuatku bertambah kesal.

"Maksudnya? Jadi gue bener-bener dijebak gitu?" tanyaku dengan sedikit menaikan suara.

"Saya bingung mau ngomong sama kamu gimana? Chat saya aja gak dibaca satu pun sama kamu apalagi telpon." Jawabnya, memang benar aku dengan egoisnya memutus hubungan karena ingin menjaga jarak agar aku bisa pura-pura untuk baik-baik saja.

Nyatanya saat aku mengacuhkan dia, aku sama sekali tidak baik, lebih banyak pikiran, dan juga khawatir.

"Maaf, kalau begitu saya permisi." Kataku yang ingin kembali melarikan diri.

"Kamu gak bisa terus-terusan ngehindar gitu, Za. Saya tahu saya salah, saya juga punya masa lalu, sama seperti kamu. Mungkin bedanya dari awal saya gak jujur sama kamu, Za. Sekarang saya nyesel karena buat kamu patah lagi. Maaf." Cegahnya dengan berbicara sendu.

Aku hanya diam mematung, gak tahu harus berbuat apa. "Saya minta kamu kembali, tolong dengarkan semuanya agar jelas. Saya mohon, Za!" lanjutnya lagi.

Tak tahu apa yang ku rasakan, seketika mataku berkaca-kaca tanpa diperintah air itu jatuh membasahi pipi.

"Maaf Pak, saya hanya ingin hidup bersama dengan orang yang tulus mencintai saya tanpa ada orang lain yang mengusiknya. Egois memang, tapi saya benci orang ketiga apalagi adanya perselingkuhan." Jawabku dengan membelakanginya dan kemudian membuka pintu, "saya permisi. Assalamua'laikum." Pamitku tanpa ada pencegahan yang dijawab hanya salam.

Aku pergi keluar langsung berlari dengan berderai air mata. Kalau boleh jujur, aku juga tidak mau kehilangannya. Tapi aku juga tidak mau merusak kebahagiaannya bila itu harus bersama wanita lain.

Bersyukurnya kantor sepi karena ternyata tidak ada yang lembur dihari ini. Di pintu keluar ada Bella yang menunggu, dia melihatku seperti panik karena mungkin rencananya gagal untuk aku bisa kembali bersama Alvaro.

"Kiaaa..." ucapnya dengan sendu yang melihatku menangis.

"Lo jahat Bel," ucapku disela isak tangisku yang menghampirinya kemudian berlalu melewatinya.

"Gue cuma butuh waktu sampai gue bisa mengikhlaskan dia." Kataku mencoba tegar menghapus air mata saat Bella berhasil mengejarku.

"Ya gue tahu, tapi lo gak bisa kaya gini. Lo sama aja ngebiarin masalah itu makin besar dengan terus menghindar tanpa lo tahu kenyataannya seperti apa." Ucap Bella dengan memegang bahuku untuk menyadarkan.

"Lo bisa gak sih egonya turunin dulu? Dengerin juga apa isi kata hati lo. Sadar, lo udah lamaran dan sebentar lagi nikah. Emang lo mau batal pernikahannya gitu?" tanya Bella yang mungkin kesal dengan sikapku.

"Gue gak bisa apa-apa Bel, nyatanya dia masih menyimpan perasaan dengan wanita lain. Gue udah pasrah." Jawabku lesu dengan tertunduk.

"Jadi, kamu tidak mau berjuang?" tanya seseorang dengan suara Bassnya yang ku kenal.

Sontak aku dan Bella melihat ke arah yang berbicara.

SHABIRA (Revisi)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang