BAGIAN 10 [RASA BERSALAH]

4.1K 430 1
                                    

°°°

Tidak peduli dengan kulit-kulit nya yang sebagian sudah melepuh berwarna merah. Karena terus berlarian hingga kerumah sakit, membuat tenaga pemuda itu terkuras. Sesampainya dihalaman rumah sakit, Nana menopang tubuhnya dengan memegangi kedua lututnya. Napasnya tersengal karena terus berlarian sampai ketempat ini.

Setelah dirasa sudah sedikit baikan, pemuda itu langsung kembali berlari menelusuri rumah sakit untuk bertemu dengan kakaknya.

Nana sudah tidak memakai maskernya, dan hal itu menyebabkan warna kemerahan diwajahnya yang tidak sengaja terkena sinar matahari. Ia tidak terlalu mempedulikan hal itu, yang terpenting saat ini adalah memastikan kondisi abangnya.

Tepat saat berada didepan ruang ICU, Nana bertemu dengan Tirta yang mungkin juga tengah menunggu keadaan dari dalam. Pandangan keduanya bertemu, Nana langsung berjalan mendekat kearah Tirta untuk mencari tahu bagaimana hal itu dapat terjadi.

"Abang kenapa, kak? " tanyanya dengan nada cemas.

Tirta yang tengah duduk diruang tunggu tersebut lantas segera berdiri ketika mendengar suara bertanya dari Nana.
"Dia tadi mimisan lagi, terus katanya gak papa. Waktu kakak tinggal buat ngambil contoh-contoh dikamar, tiba-tiba dia udah pingsan dilantai waktu kakak balik. " Jelas Tirta yang tentu saja membuat Nana semakin khawatir.

Ia tidak ingin terjadi sesuatu dengan kakaknya. Terlebih lagi semalam Jeffin memutuskan untuk menunda jadwal cuci darahnya. Hal itu membuat rasa bersalah Nana semakin menyelimuti hatinya, ia tidak berhasil untuk membujuk kakaknya.

Nana ingat dengan ucapan mama jika Jeffin jangan sampai menunda-nunda pergi kerumah sakit, atau yang ada nanti akan membuat keadaan semakin parah. Dan hal itu mampu membuat Nana merutuki dirinya sendiri yang gagal untuk memenuhi janjinya dengan mama.

Semenjak mamanya membuka usaha baru, biasanya Nana lah yang akan menjaga kakaknya dirumah. Mengajak lelaki itu untuk sesekali memeriksakan diri ke dokter.

"Abang kamu punya riwayat penyakit maag gak? " Tanya Tirta yang kemudian diangguki oleh Nana.

Tirta menghela napasnya pelan. Tidak seharusnya tadi ia memberikan segelas kopi untuk temannya itu. Mengingat seorang pengidap maag yang tidak boleh makan sembarangan, termasuk kopi.

"Muka kamu merah, kenapa? "

Nana yang tengah sibuk berdiri sambil menunggu tersebut kemudian langsung memegangi area wajahnya. Memang bisa terbilang sedikit perih, namun itu masih belum seberapa.
"Ini tadi kena sinar matahari, jadi kaya gini. "

"Sun rashes? "

Nana hanya mengangguk menanggapi ucapan kak Tirta. Karena terus berada dibawah sinar matahari siang ini, membuat kulit yang tidak terlapisi apa-apa itu melepuh seperti terbakar.

"Obatnya dibawa? "

Nana menggeleng. Ia tidak pernah membawa obat ataupun salep untuk mencegah sinar matahari tersebut. Mungkin ia membawanya hanya saat sekolah saja.

Lelaki itu menunduk. Bagaimana bisa ia menjaga kakaknya jika dalam keadaan lemah seperti ini? Untuk bepergian keluar saja lelaki itu masih membutuhkan benda-benda berat yang akan menjaganya. Mungkin memang benar perkataan mama jika ia adalah anak yang lemah, mengingat daya tahan tubuhnya yang tidak seperti anak-anak remaja pada umumnya.

Forgotten Nana [END]✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang