BAGIAN 46. [BUNTU]

3.5K 411 5
                                    

°°°





Ucapan yang keluar dari mulut seseorang yang telah melahirkannya kedunia, tentu saja membuat dirinya hancur sehancur-hancurnya saat ini juga. Seolah-olah memang semesta menunjukkan jika mereka benar-benar membenci kehadirannya.

Kedua kakinya berjalan tak tentu arah. Sepanjang perjalanan sebisa mungkin Nana menyembunyikan tangisannya agar tak meledak saat ini juga.

Semua ucapan yang diberikan oleh mama, mampu membuatnya seakan harus menyerah saat ini juga.

Nana sudah tak peduli lagi dengan langit yang semalam cerah itu kini sudah berubah menjadi sedikit gelap karena awan mendung yang menutupi sinar sang Surya diatas sana.

Mengapa menjadi seperti ini? Mengapa tidak ada waktu sehari saja untuknya bernapas lega tanpa beban pikiran yang seringkali muncul di kehidupan nya?
Itu lah pertanyaan yang saat ini tengah Nana ucapkan dalam hati. Mulutnya kelu untuk mengucapkan kalimat tersebut secara langsung.

Ingin mengadu kepada tuhan, tapi ia malu. Dilain tempat masih banyak lagi orang yang lebih sengsara hidupnya dibandingkan dirinya. Dan oleh karena itu alasan Nana tidak ingin mengadukan semua perjalanan hidupnya kepada tuhan.

Seperti yang abangnya bilang, jika tuhan tak akan memberi ujian kepada umatnya melampaui batas.

Nana percaya dengan semua kalimat itu. Namun untuk kali ini ia sedikit ragu. Hari ini tepatnya siang yang tengah mendung ini, dunianya benar-benar telah hancur. Entah siapa lagi orang yang akan memberikan semangat hidup untuknya jika keluarga saja sudah enggan untuk mengurus dirinya yang lemah.

Ia akui jika dirinya memang lemah, tak sekuat remaja lainnya yang dapat melakukan aktivitas berat normal lainnya. Berbeda dengannya, tak ada sama sekali yang dapat diandalkan. Bahkan nilainya mungkin sudah tak ada harganya sama sekali semenjak dirinya seringkali tak dapat mengingat pelajaran yang diberikan oleh guru.

Ia bingung kemana lagi dirinya harus pergi. Tak ada tempat lain lagi selain rumah satu-satunya. Namun kini rumah itu sudah bukan lagi miliknya. Nana pasrah, mungkin ia dapat mencari tempat untuk singgah sementara. Tentang biaya dirinya bisa mendapatkan uang dari hasil kerjanya.

Namun tentu saja semua itu tidak mudah. Pekerjaan apa yang cocok untuk anak sepertinya? Mungkin untuk mencari nafkah saja ia sudah kesusahan.

Langkah pemuda itu berjalan menuju kerumah untuk mengambil pakaian yang mungkin akan berguna. Tempat itu sudah bukan lagi rumahnya, sudah tak ada lagi harapan yang dapat ia tujukan oleh keluarganya. Semua seakan menolak kehadiran dirinya.

Rintikan hujan mulai berturunan membasahi jalanan kota. Pemuda itu membuka kupluk Hoodie nya yang semula berada di kepalanya. Ia sudah tak peduli jika nanti akan jatuh sakit lagi, toh sudah tak ada yang mempedulikan nya hingga saat ini.

Ketika dirinya sudah berada dihalaman rumah, Nana langsung berjalan menuju ke pintu utama dan membuka benda yang terbuat dari kayu jati tersebut. Ia berjalan masuk menuju ke lantai atas yang disana terdapat kamar miliknya, dulu.

Rasanya begitu berat jika harus meninggalkan tempat yang sudah banyak sekali menyimpan kenangan. Dari kecil hingga sedewasa ini, semua itu hanya dapat ia simpan di lubuk hatinya sebagai kenangan yang tidak akan pernah dapat di putar kembali.

Ia mengambil tas sekolahnya dan mengeluarkan buku-buku yang terdapat didalam sana. Nana sudah tak membutuhkan semua itu, tak akan ada lagi orang yang akan membiayai nya untuk bersekolah. Bahkan keluarganya pun sama sekali sudah tak percaya lagi dengannya.

Hanya beberapa kaus dan pakaian tebal saja yang ia bawa. Tas nya tidak muat jika harus menampung semua pakaian yang dimilikinya sekarang.

Kepalanya tertoleh ke arah album dan juga kamera yang terdapat di atas nakasnya. Senyuman kecut itu terlihat jelas di wajahnya, mengartikan jika ia memang benar-benar sudah tak memiliki harapan lagi untuk hadir di keluarga ini.

Forgotten Nana [END]✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang