BAGIAN 11 [Terbiasa]

3.8K 408 4
                                    

°°°

Sore hari tepatnya pukul empat, Nana dan Jeffin sudah dibolehkan pulang oleh dokter setelah menghabiskan cairan infus tadi di rumah sakit.

Saat masih berada disana, Jeffin terus terusan meminta maaf kepada adiknya karena telah membuat Nana lagi-lagi harus merasa lelah hanya untuk mengurus dirinya disana walaupun adiknya itu terus berbicara kalau abangnya sama sekali tidak bersalah.

Nana bahkan bingung sebenarnya salah apa yang telah diperbuat kakaknya hingga terus-menerus meminta maaf.

Saat ini keduanya tengah berjalan menelusuri kota bertujuan kembali kerumah mereka. Wajah melepuh adiknya masih terlihat, membuat rasa bersalahnya semakin menyelimuti hati.

Tidak ada yang membuka suara, masing-masing tengah fokus dengan perjalanan nya dan enggan untuk berbicara maupun bertanya. Jeffin dan Nana hanya diam, mereka fokus dengan jalanan pulang.

Keadaan semakin canggung. Kedua kakak beradik itu hanya berjalan sebelahan, tidak ada suara diantaranya sampai kini suara Jeffin lah yang memecahkan keheningan.

"Dek, besok kalau udah sukses mau jadi apa? "

Nana yang tengah fokus dengan jalanan dihadapannya itu lantas segera menoleh kearah kakaknya yang tiba-tiba bertanya. Jujur, ia juga masih ragu dengan keinginan nya.

"Kenapa bang nanya kaya gitu? " Tanya Nana yang penasaran mengapa kakaknya setiba-tiba itu bertanya tentang impian yang ingin diraihnya.

"Gak papa, Abang cuman pengen tau adek Abang mau jadi apaan besok kalau udah sukses. "

Mendengar jawaban dari Jeffin membuat Nana ber-oh ria, "Nana masih ragu, bang. " Jawabnya sambil mengalihkan kembali atensinya menatap krikil yang terdapat dibawahnya sana. Sepanjang perjalanan Nana terus menendangi krikil tersebut hingga terpental sedikit jauh dari tempatnya semula.

"Kenapa ragu? "

Helaan napas terdengar jelas dari mulut Nana.
"Gak tau, ragu aja gitu rasanya... "

Terlihat jelas dari samping wajah adiknya yang terus menunduk sambil berjalan. Sepertinya Nana ragu dengan keputusan impian yang sudah ia mimpikan.

"Kalau ragu kamu pertimbangin dulu, apapun keputusannya pasti Abang dukung. " Ucap Jeffin sambil menyemangati adiknya.

"Tapi emang kaya aku gini bisa ya ngeraih mimpi? Apa itu gak bakalan sulit buat anak kaya aku, bang? "

Seolah-olah tahu apa yang akan terjadi dimasa depan, Nana bingung memikirkan apa yang ingin ia impikan.
"Aku kaya gak punya arah hidup. Sampe sekarang juga masih bingung sama semuanya. "

"Jangan mikir kaya gitu, Na. Semua orang pasti punya arahan hidup. Kalau kamu ngerasa gak punya berarti kamu cuman belum nemu. "

"Tapi bang, daya tahan tubuhku juga gak mendukung. Mau jadi polisi pasti gak bisa, apalagi yang lainnya. " Ucapnya dengan nada yang berputus asa. Seakan tahu jika nanti dirinya sudah sukses, tak akan ada yang bisa dilakukan lagi selain duduk dirumah seperti orang pengangguran.

"Lihat Abang! "
Mendengar perintah kakaknya membuat Nana langsung mendongakkan kepalanya menatap sang kakak yang merentangkan kedua tangannya.
"Kamu tau kan Abang punya gagal ginjal? Tapi Abang kepengen banget jadi ahli bedah kalau udah sukses. Semangat Abang gak bakal pudar kalau benar-benar belum jadi dokter. Kamu tau kenapa? "

Forgotten Nana [END]✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang