TWENTIETH - KEPERGIAN

98 13 1
                                    

Twentieth

        "---Aden tidak perlu khawatir, Argumen saya akan menang di pengadilan dan gadis itu akan baik-baik saja. Kemungkinan dia di hukum sangat kecil karena ini bukan pembunuhan tapi membunuh karena membela diri dan di lakukan oleh anak remaja." Tutur pengacara tersebut.

Gheo mengangguk-kan kepalanya. "Baik, saya harap semuanya segera selesai dan Hani bisa kembali ke sekolah seperti biasanya!"

Pengacara itu mengangguk dan dengan cepat pergi masuk kedalam gadung kepolisian.

"Ayo kita pulang!" Celos Nataline.

"Gue antar---" ucap Ditya.

"Gue nyusul kalian nanti setelah menemani Hani dulu." Kata Gheo.

"Makasih Yo!"

Gheo mengangguk-kan kepalanya dan mengusap lembut kepala Nataline. Jika di pikir lagi sekarang dia tidak menyukai gadis itu dan menjadikannya alasan untuk membantu Hani. Sekarang mereka lebih terlihat seperti teman yang saling membantu, tanpa sadar Gheo lah yang memasuki lingkaran pertemanan tersebut.

Dirya menatap tajam Gheo, entah mengapa ada sesuatu di hatinya yang tidak rela melihat Nataline di perlakukan seperti itu oleh Gheo.

Meski begitu Ditya tidak menunjuk-kan nya kontras, dia adalah orang paling gengsian pada saat itu.

Gheo berlenggang pergi kembali masuk kedalam, sementara Nataline dan Ditya berjalan kearah parkiran motor.

"---Ditya,"

"Hem...!"

"Anterin aku ke rumah sakit yah?" Ucap Nataline takut merepotkan.

"Iyah!" Sekarang laki-laki itu sudah memarkirkan motornya.

"Cepat naik atau keburu hujan nanti!" Tungkasnya melihat cuaca hari ini yang memang terlihat mendung

Nataline mengangguk dan buru-buru menaiki motor Ditya. Gadis itu kembali memegang jaket milik Ditya.

"Lo jangan kelelahan--- abis nyampe istirahat."

Nataline mengangguk-kan kepalanya. "Iyah!"

🧩🧩🧩

Tidak ada hal yang terjadi setelah sidang, Hani bahkan tidak menyangka kalau dia di bebaskan begitu saja. Ketakutan-ketakutannya selama ini hanya khayalan semata. Sepertinya gadis itu sering menonton sinetron di TV.

Hani tidak pernah menyangka keadilan itu nyata--- tapi kalau kita bisa bicara untuk menyuarakan keadilan kita akan mendapatkannya.

"Mah aku bebas...!" Lirih Hani saat melihat Ibunya masih juga belum siuman.

"Kapan Mamah bangun?"

"Sekarang tidak ada yang perlu di takutkan lagi."

"Aku akan selalu jagain Mamah!"

Hani menatap wanita itu dan dia sadar Ibunya meneteskan air mata. Buru-buru Hani berlari keluar untuk mencari dokter atau suster yang ada disana.

"Sus! Ibu saya bangun---" Hani mencekal tangan Suster dengan erat sambil meneteskan air mata.

Suster itu mengangguk, dia buru-buru berlari pergi keruangan Ibu Hani.

Ayuni mulai membuka matanya tetapi dia sepertinya dia kesulitan untuk bernapas.

Mendengar keributan Hani, akhirnya dokter dan beberapa suster pun segera memberikan bantuan medis.

Hani melihat sang Ibu dari jendela ruangan itu. Hani memegang dadanya sakit ketika menyadari kalau itu bukan sebuah perkembangan tapi ancaman karena dokter mulai mengeluarkan alat-alat yang Hani tidak ketahui itu untuk apa.

Hani masih menangis melihat Ibunya ketika suster dengan sengaja menutup jendela menggunakan Gorden. Gadis itu merasa semakin takut sekarang--- Hani menjongkok-kan dirinya dan hanya bisa menangis di luar ruangan.

Klikk...

Setelah beberapa waktu dokter keluar dari ruangan itu dengan wajah yang tidak bisa Hani deskripsikan.

"---Dok! Mamah saya bangun kan? Dia bangunkan?"

Dokter itu tidak berbicara dan malah menunduk-kan kepalanya. Hani menggelengkan kepalanya, gadis itu mencengkram kerah Dokter di hadapannya.

"Katakan, Ibu saya tidak papah kan---?" Ucap Hani penuh emosi.

Untuk saja saat itu Gheo kebetulan mengunjungi Hani, baru saja sampai Gheo malah di kejutkan dengan Hani yang terlihat kasar kepada seorang dokter.

"Han---" teriak Gheo.

Laki-laki itu langsung melepaskan cengkraman tangan Hani dari Dokter itu. "Ada apa?" Tanya Gheo.

"Maaf Nak--- Tetapi Ibumu sudah tidak bersama kita lagi."

Deg.

Tubuh Hani langsung lemas seketika, dia mungkin akan terjatuh jika Gheo tidak memegang pundaknya. Gheo sengah memeluk gadis itu mencoba tabah dengan kabar yang Dokter itu berikan.

"Benturan di kepalanya sangat keras, sistem otaknya terganggu dan beliau tidak bisa bertahan lagi."

Gheo mengangguk-kan kepalanya. "Terimakasih Dok telah berusaha selama ini---" ucap Gheo.

"Tidak! Maaf saya harus pergi sebentar."

Gheo mengangguk, laki-laki itu semakin mencengkram erat tubuh Hani yang sekarang sudah menangis di pelukannya.

🧩🧩🧩

Rumah Hani di ketuk beberapa kali oleh Nataline. Tidak mendengar jawaban akhirnya Nataline mencoba membuka pintu itu sendiri.

Sudah seminggu semenjak kematian Ibunya, Hani tidak datang kesekolah ataupun kerumah Nataline.

Gadis itu tidak tau apa yang terjadi pada sahabatnya. Berkali-kali mengunjungi rumah Hani tetapi tidak ada jawaban.

Namun hari ini pintu rumah itu tidak di kunci sama sekali. Akhirnya Nataline benar-benar memasuki rumah itu.

Tidak sesuai dengan pemikirannya, Nataline kira rumah Hani akan sangat berantakan, tetapi nyatanya tidak sama sekali.

"Han!" Panggil Nataline.

Beberapa saat mencari keberadaan gadis itu akhirnya pintu kamar terbuka menampak-kan sosok Hani yang terlihat berbeda.

Penampilan gadis itu rapih dan terlihat sangat cantik. "Yah---"

"Han kamu mau kemana?" Tanya Nataline ketika menyadari ada koper di samping gadis itu.

"Kerumah Nenek! Kemarin beliau kemari dan ngajak gue buat tinggal di rumahnya."

"Nenek---" celos Nataline.

"Tapi kamu gak papah kan?" Tanya Nataline.

Hani mengangguk-kan kepalanya. "Iyah! Hidup tetap harus berjalankan walau pun banyak kejadian yang tidak di inginkan terjadi." Gadis itu tersenyum.

Nataline pun mengembangkan senyumnya. "Tapi kamu gak pindah jauhkan? Masih tetap sekolah?"

"Rumah Nenek malah dekat dengan lingkungan nya Gheo!" Cengir Hani.

Nataline mengerutkan keningnya, pasalnya Hani tidak pernah mengatakan hal itu kepada Nataline.

"Terus rumah ini---" Nataline menjeda ucapannya dan melihat ruangan sekelilingnya.

"Mau gue jual untuk biaya sekolah gue! Nenek bisa pindah kesini, tetapi kenangan buruk banyak terjadi disini. Kalau gue tinggal disini lebih lama gue mungkin akan teringat terus kepada Mamah---"

Nataline menghampiri gadis itu dan memeluknya erat. "Meski rumah kita gak deket tapi aku akan sering mengunjungi mu dan Nenek!"

Hani mengangguk dan menyambut pelukan sahabatnya itu dengan erat.

🧩🧩🧩

Note : jangan lupa vote dan komen yah :)

Makasih.

__LittleGrey.

It's alright, This is loveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang