Kala otak memaksa untuk termenung memikirkan sesuatu. Pikirannya sibuk melayang pada orang yang baru saja ia temui. Senyum, wajah, dan suara masih jelas di ingatan Gabriella. Ingin mengenal lebih dekat dan menjadi temannya, tetapi apakah ada yang akan menerimanya dengan kondisi seperti ini? Bahkan semua saja orang menjahui dirinya.
"Ayo Gabriella, sadarlah. Tak ada yang menerima dirimu," lirihnya.
Hal yang paling ia takuti adalah di tolak dan di abaikan begitu saja. Mungkin Adaline hanya ingin membantu dirinya bukan menjadi teman. Lagian siapa yang mau punya teman cacat begini.
Semua orang menjahui dan mengucilkan Gabriella, menghina dirinya setiap hari. Tak akan ada yang mau menerima apa adanya walau ia mati sekalipun. Hanya membuang waktu rasanya dan menambah beban mereka. Tanpa di cari tau itulah isi pikiran mereka.
Saat bel berbunyi, menandakan pelajaran telah berakhir. Segara semua orang di sana membereskan barang mereka masing-masing. Saat ini ia memutuskan untuk menunggu lebih lama. Menunggu semua sudah keluar kelas. Yakin jika dirinya keluar lebih dahulu dia akan terdorong oleh keramaian.
Selang beberapa waktu merasa sudah sepi, segara ia mendorong kursi rodanya keluar kelas dengan perlahan. Saat roda itu menyentuh lantai koridor, dirinya lantas terkejut karena kursi rodanya terbentur dengan keras ke dinding membuat ia sedikit meringis.
"Hei sebaiknya perhatikan jalanmu. Kakiku menabrak kursi rodamu dan itu sangat sakit." Seru orang yang menabrak Gabriella.
"Seharusnya kau perhatikan jalanmu. Bukannya di koridor tidak boleh berlari?"
"Ya terserah diriku. Kau tahu aku orang yang paling banyak menyumbang untuk sekolah ini. Jadi terserahku ingin berlari atau tidak di koridor. Jika tak bisa menggunakan kursi roda lebih baik tak usah pakai atau lebih baiknya tak usah bersekolah disini menyusahkan saja." Berlari meninggalkan Gabriella.
Sedikit menahan amarah mencoba tak mengacuhkan hal itu. Setiap hari mendapatkan perlakuan buruk membandingkan dan memamerkan kekayaan tentu itu akan sangat berpengaruh dalam kehidupan sekarang.
Namun, dirinya sudah terbiasa akan hal itu, tetapi tetap saja rasanya seperti tertusuk berulang kali di tempat yang sama. Tak berdarah, tapi meninggalkan luka mendalam.
Pergi meninggalkan kelas guna mencari tempat sunyi untuk menenangkan dirinya. Sebenarnya ingin berlama menetap di tempat kesukaannya, gedung belakang sekolah. Mungkin untuk menjernikan pikiran. Hari ini serasa dirinya ingin hancur berkeping-keping tanpa ada yang melihat. Berteriak sekeras mungkin tanpa ada yang mendengar. Menangis hanya untuk hari ini melepaskan semua beban yang ada padanya.
"Rasanya badanku ingin hancur berkeping-keping saat ini. Jujur diriku sudah sangat lelah menerima semuanya. Andai mama sama papa masih hidup, mungkin rasa sakit ini sedikit berkurang," ujarnya.
Suasana sunyi dengan angin berhembus kencang menerpa rambutnya dengan sebuah buku di pangkuan. Buku yang lumayan tebal. Ingin melepaskan semua rasa sakit untuk hari ini.
Tangan yang membuka buku di pangkuannya mulai menulis sesuatu. Buku itu adalah buku dairy miliknya. Menulis semua kisah, rasa sakit yang Gabriella alami selama ini. Hanya buku itulah menjadi teman pendampingnya. Menjadi teman untuk ia bersandar.
Walau tak bisa mendengar, walau tak bisa melihat percaya atau tidak di dalam begitu banyak luka yang terpendam dengan air mata yang menetes di dalam.
Dear dairy ;
04, September, 2012
Today is not so bad. Aku menemukan seseorang yang sangat baik mau menolongku. Tanpa memandang kondisi ku saat itu. Ingin sekali berteman dengannya, tapi apakah dia mau menerimaku? Ah tidak, semua orangkan menjahuiku bagaimana mungkin bisa menerimaku sebagai temannya hanya membuat dia malu saja berteman denganku.
KAMU SEDANG MEMBACA
Ijinkan Aku Mengulang Waktu
Teen FictionBagaimana rasanya dibenci oleh orang yang kita sayangi? Berjuang membesarkannya seorang diri. Namun, pada akhirnya pergi meninggalkan dengan rasa benci yang mendalam. Bahkan tak ada cinta di dalam hidupnya. Bahkan orang yang selama ini ada di hidup...