Chapter 20

36 0 0
                                    

"A broken heart is the worst. It's like having broken ribs. Nobody can see it but the pain is unbearable every time I breathe."

  (Hati yang hancur adalah yang terburuk. Ini seperti memiliki tulang rusuk yang patah. Tidak ada yang bisa melihatnya tetapi rasa sakitnya tak tertahankan setiap kali aku bernapas.)

~~~~°°°~~~~

Orang-orang menikmati makan mereka dengan tenang. Tertawa bersama bagai tak ada beban pikiran yang mereka hadapi. Jika kalian lihat sekilas semua orang tertawa riang bersama. Namun, berbeda dengan satu orang duduk di pojokan sembari menutup diri dengan buku. Menahan tangis yang sedari tadi keluar. Baju yang sudah kotor dengan rambut yang tak beraturan.

  "Charlotte mari kita bersihkan dirimu," tawar Scarlett.
  "Tidak. Aku tidak mau. Aku tidak ingin semua guru melihatku. Bisa-bisa aku terkena masalah lagi," balasnya.

Dirinya mendudukkan diri di depan sahabatnya. Memperhatikan secara detail sebagian inci dari sana. Dirinya tak bisa membantu banyak. Bahkan sekadar melawan pun tak bisa. Tak ada bedanya dirinya dengan Charlotte yang mempunyai masalah yang sama. Mereka salah menempati dunia yang seharusnya tak di tempati siapapun.

  "Kalau begitu kau ingin bekalku? Kau belum makan dari tadi,"
  "Tidak terima kasih. Aku baik-baik saja. Pergilah kau bisa terkena masalah dekat denganku,"


Dengan sedikit keraguan, Scarlett melangkah pergi meninggal Charlotte. Tak ada mata yang memandang dan tak ada jiwa yang memeluk. Semuanya terasa hampa bagai salju datang tiada henti.

  "Maaf, aku hanya ingin kau tidak mengalami apa yang ku alami,"

~~~~°°°~~~~

Keduanya memasuki kelas dengan Revano yang mendorong kursi roda Gabriella. Semua mata tertuju pada mereka. Mengerut tak suka dengan sedikit cibiran yang terlontar.

  "Kau tak perlu mengantarku sampai ke mejaku. Aku bisa sendiri," ujar Gabriella.
  "Tidak masalah. Aku tidak keberatan. Tidak usah pikirkan apa yang mereka katakan kau tidak berbuat salah jadi tak usah takut," balas Revano.

Senyum tipis terukir di wajahnya. Manis dengan lesung Pipit tercipta. Bagaimana bisa manusia sesempurna Revano di hadirkan di dunia ini. Bukan kah dunia ini terlalu kejam untuk seorang pangeran singgah ke sini?

  "Wah wah ada yang habis kencan nih,"

Satu suara terdengar di telinganya. Suara yang tak asing dan benar saja sahabatnya Adeline datang menghampiri dengan tepuk tangan darinya.

  "Adeline sejak kapan kau di situ?"
  "Tidak mengalihkan pembicaraan. Sekarang jelaskan kenapa kalian bisa datang bersama. Kalian romantis sekali," puji Adeline.

Merah di pipi Gabriella tercipta saat Adeline memujinya. Sejujurnya tak ada rencana yang matang antara mereka berdua. Hanya berencana pergi bersama dan tak ada rencana lain. Bahkan hal tak tadi tak pernah sekalipun terpikir olehnya.

  "Kami hanya pergi bersama itu saja," jawab Gabriella.
  "Ouh pantas vano meminta nomormu tadi malam. Kalian pergi tanpa aku sungguh kejam,"

Sudut itu mata itu bergetar takut menyakiti hati sahabatnya. Segera mungkin Gabriella meluruskan perkataan nya.

  "B bukan begitu maksudnya ku Adeline. Ma maaf sebelumnya,"
  "Aku hanya bercanda jangan di bawa serius. Tenang saja lagian aku setuju kalau kau dan vano pacaran saja," ujar Adeline.

Ijinkan Aku Mengulang WaktuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang