-13-

2K 519 15
                                    

***

Hal yang paling aku takutkan, ketika Bia tahu tingkah masnya, tapi hanya lewat setengah informasi yang sengaja diberikan untuk menyesatkan.

Dengan mata memicing, dan posisi duduk bersila di tengah ranjang, Bia menatapku seolah meminta penjelasan.

"Maksud Mas Arsa tadi kamu kan? Jangan ngelak, karena enggak ada siapapun di sini, tepat di sebelahku selain kamu."

Dalam hati aku diam-diam merutuki Mas Arsa. Aku yakin dia sengaja mengatakannya, dan membuatku terjepit di depan sahabatku sendiri.

"Kalau enggak percaya, kamu tanya aja sendiri. Tuh orangnya, di sebelahmu."

Dinilai dari sudut manapun, jelas kalau Mas Arsa merujuk ke arahku, sebab seperti kata Bia dan Mas Arsa, hanya ada aku di samping Bia.

"Mas Arsa beneran ngadalin kamu?"

"Apa harus pakai kata ngadalin?"

"Terus, aku harus pakai kata apa? Modusin? Gombalin? Artinya sama aja tahu!"

"Seenggaknya itu sedikit lebih manusiawi."

"Tapi kamu tahu sendiri, Mas Arsa bukan manusia!"

"Ya, dia setan. Kamu sudah sering ngomong begitu. Tapi kalau dia setan, harusnya lebih tepat kalau kita pakai kata menyesatkan kan?"

"Memangnya dia beneran udah nyesatin kamu?"

"Apa aku kelihatan kayak tersesat? Apapun maksudnya itu, apa aku beneran kelihatan tersesat?"

Bia membuang napas kasar. "Asal kamu tahu, aku paling enggak pengin lihat kamu berurusan sama Mas Arsa."

"Aku tahu semua tentang dia, dan aku enggak mau kamu terjebak sama dia," imbuhnya ketika melihatku mengerutkan kening.

"Jujur, aku beneran akan senang kalau kamu jadi saudaraku. Karena seenggaknya aku punya teman debat yang lebih berkualitas, tapi please, bukan lewat jalur pacaran sama Mas Arsa."

Tawaku nyaris saja tersembur, untungnya aku bisa menahan diri.

"Dari segi mana kamu lihat Mas Arsa mau pacarin aku?"

"Apa enggak ada yang ingetin kamu selama aku tinggal?"

"Kamu berharap siapa yang bakal ingatin aku? Yoga? Gusti?"

Dia mendengkus kasar.

"Lagipula, kalaupun omonganmu benar. Aku sendiri enggak ada niat buat buka hati secepat itu. Jadi, enggak usah khawatir."

Usai mendengar kalimatku, napas Bia kembali terembus dengan keras. Entah karena lega, atau karena dia sendiri mulai meragukan ucapannya sendiri.

Satu yang bisa kupastikan, bahwa aku sama sekali enggak ragu dengan yang sudah kukatakan.

***

Regards,

-Na-

Sekali LagiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang