-30-

699 143 6
                                    


***

"Ma," panggilku ke Mama yang menemaniku packing persiapan ke lapangan.

"Ya?"

"Menurut Mama, Mas Arsa baik enggak?"

Enggak langsung menjawab, Mama justru terlihat mengerutkan kening usai mendengar pertanyaan yang barusan kulontarkan. "Perasaan kamu sudah pernah tanya ini ke Mama deh."

"Ya aku tanya lagi sekarang, siapa tahu penilaian Mama berubah."

"Berubah gimana," balas Mama sembari tersenyum. "Menurut Mama dia tetap anak baik, terlepas dari Papa yang masih belum sepenuhnya setuju dengan hubungan kalian, tapi dia tetap memperlakukan kamu dengan baik dan memperhatikan kamu. Apa Mama keliru?"

"Dia sering becandain Mama juga kan?"

Mama menganggukkan kepala, lalu kembali menunjukkan kerutan di kening beliau karena mengangkat alis.

"Mama enggak kesal atau tersinggung kalau dibecandain Mas Arsa?"

"Enggak lah," jawab Mama yang sama sekali enggak terlihat ragu. "Bercandanya dia masih sopan."

Bibirku terkatup setelah Mama mengatakannya. Mama benar, meskipun sangat suka bercanda tapi Mas Arsa pintar menempatkan diri sekaligus guyonannya.

"Kenapa? Apa kalian ada masalah?"

"Enggak," sahutku dibarengi dengan gelengan kepala.

"Terus?"

Aku menarik napas dan memberi jeda sebentar, sambil memikirkan apa yang sebenarnya sedang berkecamuk di hatiku sekarang ini. "Kadang aku merasa kalau Mas Arsa terlalu baik buat aku."

Mama lagi-lagi mengangkat kedua alis beliau, mungkin terkejut mendengar pengakuan yang kukatakan barusan.

"Dia selalu bisa memaklumi kondisiku, perasaannya buat aku rasanya begitu besar kalau dibandingkan sama perasaanku buat dia."

"Tapi kamu sayang kan sama dia?"

Sekitar dua atau tiga detik kemudian aku mengangguk.

"Menurutmu, kalau dibandingkan dengan pertama kali kalian dekat dengan sekarang, apa perasaanmu itu masih sama seperti awal atau sudah bertambah sedikit dari sebelumnya?"

Kembali aku terdiam karena memikirkan pertanyaan Mama. Mengingat sekaligus meraba perasaan yang kupunya untuk Mas Arsa.

"Kalau kamu merasa itu mulai bertambah, enggak ada yang perlu kamu khawatirkan, karena perasaanmu sudah ada di jalur yang benar. Lain cerita kalau perasaanmu itu masih sama seperti sebelumnya atau bahkan sampai berkurang, jelas kamu harus mempertimbangkan lagi kedekatan kalian."

"Perasaan yang sama seperti sebelumnya harusnya enggak menjadi tanda bahwa ada yang salah kan, Ma?"

"Bagi orang lain mungkin memang enggak, tapi untuk Mama sendiri, setelah apa yang sudah kita lewati dengan orang itu, susah dan senangnya, sedikit banyaknya itu pasti mempengaruhi perasaan kita, entah itu berkembang jadi lebih besar atau malah berkurang. Kalau itu tetap sama, menurut Mama itu sudah layak untuk dijadikan warning."

"Tapi untuk mempertahankan perasaan buat tetap sama, enggak berubah, juga sebenarnya sulit menurutku."

Mama mengangguk setuju. "Memang sulit, tapi ketika kamu melihat seberapa besar usaha yang dia sudah lakukan untukmu, masak iya hatimu enggak tergerak?"

Aku menarik napas panjang, mengembuskannya dengan keras sambil menyamankan posisi dudukku.

"Dulu jujur aku enggak pernah ambil pusing dengan lingkaran pertemanan Mas Arsa, termasuk teman-teman perempuannya." Aku kembali membuat pengakuan lain, dan Mama menyimak sambil memangku kedua tangan beliau dengan satu kaki menyilang di atas kaki yang lain. "Tapi akhir-akhir ini aku merasa kurang suka dengan satu nama yang sering muncul."

"Perempuan?"

Kepalaku terangguk. "Apa menurut Mama yang semacam ini termasuk perasaanku juga sudah berkembang?"

"Hmm," sahut Mama, "karena kalaupun perasaanmu masih sama, kamu enggak akan pernah terusik oleh siapapun yang ada di sekitar Arsa."

"Atau bukan enggak mungkin itu cuma egoku aja? Maksudku perasaanku masih sama, tapi di saat yang sama aku merasa egoku terusik karena ada seseorang yang berusaha mencuri perhatian Mas Arsa dariku?"

Bukannya menyahut, Mama malah tampak tersenyum geli melihatku.

"Kok malah senyum?"

"Untuk pertanyaanmu itu, cuma kamu yang bisa menjawabnya."

Jawaban yang beliau berikan jujur enggak cukup memuaskan, karena itu aku refleks mengerucutkan bibir. Pada akhirnya aku menceritakan pada Mama tentang ucapan Mas Arsa beberapa hari lalu.

"Mama bisa mengerti kalau misal sampai sekarang kamu masih dibayangi oleh perasaanmu tentang hubunganmu di masa lalu, juga kekhawatiranmu karena merasa enggak bisa membalas perasaan Arsa," kata Mama. "Tapi By, kamu juga harus ingat bahwa baik kamu dan Alloy, kalian sudah sama-sama sepakat untuk mengakhiri hubungan kalian. Kalian sudah memilih jalan masing-masing, apa Mama salah?"

Aku mengembuskan napas lalu membenarkan ucapan beliau dengan gelengan.

"Dengan kepekaan yang Arsa punya, Mama yakin kalau dia bisa melihat kepada siapa hatimu tertuju."

"Kamu enggak mungkin bisa cemburu kalau enggak punya perasaan memiliki untuk Arsa," tambah Mama yang kemudian tersenyum simpul usai mengatakannya.

***

Sekali LagiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang