-21-

1.7K 417 17
                                    

***

"Kenapa aku enggak boleh masuk?"

Kepalaku menggeleng, sementara bibirku bungkam. Melihat reaksiku yang enggak berubah sejak memasuki komplek rumah, Mas Arsa menarik napas panjang, lalu sambil melepas sabuk pengaman, dia mengembuskan napasnya lumayan keras.

"Apa kamu lupa sama permintaanku waktu itu?" tanyanya selang beberapa saat. Sepasang matanya melirik ke arahku dengan sedikit kernyitan di antara kedua alisnya.

Kembali aku menggelengkan kepala. "Masih ingat kok," kataku akhirnya.

"Terus, kenapa enggak boleh masuk?"

"Aku belum bilang mama sama papa," akuku ragu, sebab alasan yang kuberi jelas terdengar lemah.

"Aku enggak masalah sebenarnya kamu sudah atau belum bilang kalau aku mau datang, toh aku tetap bisa langsung kenalan. Kadang yang mendadak juga enggak selalu buruk, kan?"

Aku menatap Mas Arsa, entah apa yang merasukinya hari ini. Mungkin lebih tepat kalau kukatakan sejak beberapa hari belakangan ini. Aku tahu dia ingin ketemu sekaligus ngobrol dengan mama dan papa, enggak sekedar menyapa singkat seperti yang sudah-sudah, tapi yang aku enggak tahu adalah alasan yang membuat dia terkesan bersemangat untuk bertemu dengan keduanya. Apa mungkin dia punya rencana gila yang enggak dikatakan padaku?

Bukan aku berprasangka buruk, tapi sejak kenal Mas Arsa dan sering berinteraksi dengannya, aku jadi suka memikirkan kejahilan apa lagi yang akan dia buat, atau ocehan asal apa lagi yang akan keluar dari mulutnya, dan itu membuatku sedikit lebih awas di depannya. Pernah dekat dengan seseorang yang karakternya memiliki beberapa kesamaan, membuatku sedikit banyak belajar untuk mengantisipasi hal-hal yang enggak terduga.

"Harus banget hari ini ketemunya? Masih ada besok dan hari-hari lainnya kan? Lagian juga papa kemungkinan masih di kantor."

Mas Arsa terdiam, lalu menganggukkan kepala. "Tapi kita enggak tahu apakah besok atau hari-hari berikutnya aku masih punya kesempatan kan?"

Garis-garis di dahiku sontak bermunculan, sembari melihat Mas Arsa yang kali ini sudah menoleh sepenuhnya padaku dengan posisi duduk agak miring.

"Pernah dikasih tahu kan sama guru agama, kalau takdir seseorang itu enggak ada yang tahu. Jangankan besok, sejam atau lima menit lagi juga kita enggak tahu."

Selama beberapa detik aku terdiam, bukan karena aku enggak tahu harus menyahut apa, tapi karena kadang aku masih belum terbiasa kalau Mas Arsa bicara serius. "Itu ..."

Kalimatku menggantung ketika menyadari ada mobil yang baru saja berhenti dengan posisi memotong di depan mobilku.

Itu mobil papa.

Tanpa bisa kucegah, jantungku dengan sendirinya berdetak lebih cepat dari beberapa detik yang lalu. Ada perasaan gugup yang mendadak menjalar dan diam-diam berusaha kukendalikan sebelum ketahuan cowok di sebelahku.

"Bahkan kamu enggak tahu kalau belum ada semenit, ternyata papamu malah sudah pulang," imbuh Mas Arsa dengan santainya.

***

Sekali LagiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang