-26-

833 154 6
                                    


***

Tante Ai' yang menyambut kedatanganku, memberi tahu kalau Mas Arsa ada di taman samping.

Di belakang bangunan kecil yang setahuku biasanya dijadikan tempat menginap tamu-tamu keluarga Om Syuja, ada lahan kosong yang oleh Mas Arsa dimanfaatkan untuk menyimpan semua perlengkapan berkaitan dengan kucing, selain itu area tersebut juga seperti menjadi taman bermain untuk Luna karena sebagian besar mainannya ada di sana. Kalau kata Bia, Mas Arsa punya niat mengubahnya menjadi rumah kucing suatu saat nanti.

"Sudah datang," kata Mas Arsa ketika melihat kehadiranku. Dia duduk bersila di lantai marmer sambil membersihkan area mata anak kucing yang baru direscue dengan bulu warna putih agak kecoklatan.

"Lagi diapain?" tanyaku sembari bergabung duduk bersila di sampingnya.

"Bersihin matanya yang lengket, habis itu disalepin."

Aku mengangguk dengan fokus tertuju ke anak kucing yang terlihat tenang di tangan Mas Arsa.

"Tadi aku tanya ke tukang parkir, katanya dia memang sempat lihat ada ibu-ibu yang berdiri dekat-dekat ke mobilmu, tapi waktu itu dia enggak curiga. Soalnya ibunya bawa kayak tas belanja gitu, makanya dikira ya ibu-ibu habis belanja yang lagi ngecek belanjaannya."

"Memangnya dia enggak lihat pas ibunya ngeluarin anak kucing ini?" Aku bertanya sambil melihat Mas Arsa kali ini.

Dia tampak menggeleng. "Soalnya posisi dia ada di sisi berlawanan, jadi ketutupan badan mobil."

Napasku terembus dengan keras usai mendengar jawaban Mas Arsa. Ada perasaan jengkel mengetahui kalau kucing kecil ini benar-benar dibuang oleh orang yang enggak bertanggung jawab. Sudah sering aku mendengar dari Mas Arsa, bagaimana orang-orang yang latah dan sekedar ingin ikut trend memelihara kucing, pada akhirnya tega membuang kucing yang sedang sakit dan dianggap enggak lucu lagi. Tapi ini pertama kali aku melihatnya sendiri, terlebih lagi dengan usia kucing yang masih sangat muda menurutku.

"Dia cewek apa cowok?" tanyaku lagi, merujuk ke anak kucing yang sedang dia lap matanya menggunakan kapas basah.

"Cowok."

"Umur berapa?"

"Belum genap tiga bulan kayaknya, mungkin sekitar dua setengah."

"Bulunya lebih panjang dari Luna ya?"

"Hmm," sahut Mas Arsa ketika kami melakukan kontak mata. "Dia ini jenis Himalaya. Kamu lihat kan, hidungnya warnanya gelap."

Aku enggak menyahut dan hanya menatap lagi ke anak kucing, tapi Mas Arsa pasti tahu kalau aku mengiyakan ucapannya.

"Kamu mau adopsi dia enggak?" tanya Mas Arsa, membuat sepasang mataku kembali tertuju ke arahnya dengan agak membulat.

"Aku enggak punya pengalaman melihara kucing."

"Aku juga dulu enggak punya pengalaman," sahutnya sambil tersenyum kecil. "Segala sesuatunya pasti ada awal dan proses belajarnya kan?"

Mulutku bungkam, sementara netra kami saling beradu selama beberapa saat, dan batinku sedang berdebat antara menolak atau mengiyakan ucapan Mas Arsa.

"Aku akan rawat dia dulu sampai kondisinya membaik." Mas Arsa kembali bersuara selagi dalam diam aku masih berdebat sendiri. "Kalau perlu sampai dia selesai vaksin, biar kamu enggak kerepotan."

"Tapi kalau nanti aku rawat dia terus kenapa-kenapa?"

"Kan ada Mas pacar," guraunya sambil nyengir.

***

Sekali LagiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang