-22-

1.9K 393 20
                                    

***

“Kenapa Papa ngomong begitu ke Mas Arsa?” tanyaku setelah Mas Arsa pamit pulang.

Papa enggak langsung menyahut. Dari tempat beliau duduk saat ini, beliau terlihat tenang.

“Apa Papa enggak suka sama Mas Arsa?” tanyaku lagi, menyuarakan rasa penasaran yang sedari tadi memang mengusikku.

Lagi-lagi, beliau enggak menunjukkan tanda-tanda akan bersuara untuk memberiku jawaban. Yang terjadi hanya beliau menarik napas panjang, kemudian mengembuskannya dengan lumayan keras.

“Bukan enggak suka Aby,” sahut Mama yang bergabung bersama kami sembari membawa sepiring anggur yang tampaknya sudah dicuci bersih.

“Terus, kenapa tadi Papa bisa sedingin itu sama Mas Arsa?” Sorot mataku mengikuti pergerakan Mama yang makin dekat, lalu usai meletakkan piring di atas meja, beliau duduk di samping kanan Papa. Sementara Papa malah dengan santainya mengambil sebutir anggur dan memakannya.

“Kan kamu dengar sendiri Papa bilang apa ke Mas Arsa,” jawab Mama dengan pembawaan setenang Papa. “Bukan hanya Papa, tapi Mama juga jujur saja enggak mau lihat kamu terpuruk lagi gara-gara patah hati.”

“Kamu baru saja bangkit dari patah hati yang kemarin, kalau hal yang sama terjadi dalam waktu berdekatan, kami enggak bisa membayangkan akan seterpuruk apa kamu nanti."

Kalimat panjang Mama membuatku terdiam selama beberapa saat.

“Apa Papa sama Mama benar-benar berpikir aku selemah itu?”

“Bukan lemah, Aby,” sanggah Mama cepat. “Mama dan Papa tahu, kamu anak yang kuat. Buktinya kamu bisa kembali bangkit dan aktif lagi seperti sekarang. Kami hanya berpikir akan lebih baik kalau kalian berteman dulu, sampai lukamu itu benar-benar sembuh.”

“Dia juga setuju untuk berteman dulu.” Papa akhirnya angkat bicara setelah sedari tadi diam, dan enggak menjawab pertanyaan dariku.

Aku mengembuskan napas lewat celah bibir sebelum menimpali ucapan Papa. “Karena dia enggak punya pilihan setelah Papa ngomong begitu duluan."

Sewaktu aku mengalihkan pandangan dari Papa ke Mama, rupanya keduanya sedang menatapku, dan itu membuatku refleks menarik napas panjang kemudian mengubah posisi duduk. Yang semula tegak, aku bergerak mundur untuk menyandarkan punggung sembari bersedekap.

“Apa kamu lagi merajuk karena enggak Papa ijinin pacaran?” tanya Papa setelah kami bertiga sama-sama diam.

Aku enggak langsung menyahut, dan hanya mengerucutkan bibir, kemudian menekannya ke dalam.

“Apa patah hatimu sudah benar-benar sembuh?” Papa kembali bertanya meskipun aku enggak menjawab pertanyaan beliau sebelumnya.

Lagi-lagi aku enggak menyahut, tapi dalam hati aku mengulang pertanyaan beliau beberapa kali.

“Aby?” panggil Mama setelah kami kembali berada dalam keheningan yang cukup lama.

Aku menatap Mama dan ganti ke Papa, lalu sedetik kemudian aku menarik napas dalam-dalam.

“Beberapa waktu lalu, aku ketemu Bang Alloy,” ucapku setelah mengembuskan napas.

Baik Papa ataupun Mama, keduanya sempat menunjukkan ekspresi terkejut usai mendengar pengakuanku.

"Di rumah Om Syuja,” lanjutku.

“Kami sempat ngobrol, dan dari pertemuan serta obrolan kami hari itu, aku tahu kalau hatiku sudah baik-baik saja.”

“Sebelum kami ketemu, aku memang sempat berpikir kalau luka itu masih menganga.” Aku kembali bersuara setelah memberi jeda sebentar. “Aku juga berpikir bahwa aku enggak akan siap membuka hati dalam waktu dekat, dan nggak akan ada laki-laki yang bisa menggoyahkan aku. Sampai kemudian dia melakukannya.”

Tanpa perlu kusebutkan namanya, aku yakin kedua orang tuaku paham siapa yang barusan aku maksud. Tapi keduanya masih saja diam dan enggak mengatakan apapun.

“Aku tahu kok,” ucapku kemudian, kali ini aku berusaha untuk lebih meyakinkan orang tuaku. “Ketika aku memutuskan untuk membuka hati, kemungkinan untuk dipatahkan lagi suatu hari nanti itu ada. Dan itu memang resikonya kan? Harus siap patah ketika aku berani memberikannya. Kalaupun itu bukan Mas Arsa tapi cowok lain, baik itu sekarang atau nanti, kemungkinan itu akan selalu ada. Apa aku salah?”

Papa dan Mama masih memilih diam. Hanya Mama yang sedari tadi membalas tatapanku, dan sesekali melirik Papa. Sementara Papa, tatapan beliau tertuju ke arah lukisan yang menggantung di salah satu dinding ruang tengah.

Tiba-tiba Papa terdengar membuang napas keras, lalu yang enggak aku sangka, masih dengan mulut bungkam, beliau bangkit dan meninggalkan ruang tengah begitu saja tanpa sekalipun menengok lagi ke arahku.

***

Sekali LagiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang