-24-

1.5K 316 10
                                    

***

"Kamu sudah ngomong sama Mama Papa?"

Pertanyaan Mas Arsa sama sekali enggak kurespon, tapi dia jelas tahu kalau aku mendengarnya, karena hanya ada kami berdua di dalam mobil sore ini.

"Apa perlu aku yang ngomong, sekalian minta ijin ke mereka?"

"Enggak perlu aku iya-in harusnya Mas sudah tahu sendiri jawabannya apa," sahutku kali ini, dan kudengar dia malah mendengkus. Ketika sengaja aku meliriknya, ada senyum terulas di bibirnya meski saat ini dia tengah fokus mengemudi. "Lagian kan yang bikin jadwal itu di ponselku Mas sendiri," imbuhku.

Mendengar gerutuanku kali ini, dia baru melirik ke arahku, lalu senyumnya terkembang lebih lebar dengan sepasang mata jernihnya yang menyipit. Faktanya, memang dia yang membuat jadwal menemani pelantikan di ponselku. Waktu itu dia meminta ponselku untuk membuktikan bahwa aku sudah membuat jadwal tersebut. Merasa enggak pernah melakukannya, tanpa pikir panjang aku menyerahkan ponsel, dan saat itu juga dengan jari-jarinya yang bergerak cepat Mas Arsa menandai hari dan tanggal pelantikannya, sekaligus menambahkan catatan yang membuatku kesal.

"Daripada malam minggumu suntuk mikirin kenapa enggak dikirim ke lapangan, mending nemenin aku pelantikan, terus kita jalan seharian."

"Aku lebih milih buat tidur seharian daripada jalan seharian," balasku dengan nada agak ketus.

Mas Arsa malah terdengar mengembuskan napas keras. "Terlalu lama serumah sama Bia, jadinya kamu mulai ketularan dia sekarang," celetuk Mas Arsa. "Mendingan ketularan aku, biar hidupmu lebih santai."

Aku sengaja berdecak keras usai mendengar kalimat terakhirnya, lalu buka suara. "Daripada aku ketularan Yoga sama Arya, yang suka keluyuran enggak jelas."

Sahutanku direspon Mas Arsa dengan uluran tangannya yang tahu-tahu sudah berakhir di puncak kepalaku. Enggak ada gerakan besar, dia hanya membiarkan tangannya di sana sampai aku kemudian merasakan usapan lembut di kepala.

"Iya deh, emang mending ketularan Bia ketimbang ketularan mereka berdua," timpal Mas Arsa yang saat kuperhatikan, ekspresinya tampak tenang. "Daripada nanti kamu ngambek terus minta turun di tengah jalan."

Mendengar guyonannya barusan, tanganku refleks memukul lengan kiri Mas Arsa. Pukulan pertamaku diterimanya sambil tertawa, ketika aku akan melayangkan pukulan kedua, dengan sigap tangannya yang tadi ada di puncak kepalaku berhasil menahan tanganku, lalu tanpa kuduga dia malah menggenggamnya.

Merasakan hangat telapak tangannya, tanpa bisa kukendalikan jantungku sontak berdetak dengan lebih cepat sekaligus lebih kuat. Aku bahkan harus menarik napas dalam-dalam, memalingkan wajah sambil mengembuskan napas lewat celah bibir, berharap dengan begitu detak jantungku bisa segera kembali normal sebelum Mas Arsa mengetahuinya dan menertawakanku habis-habisan.

"Kenapa? Deg-deg-an ya?"

Aku enggak tahu apakah pertanyaan barusanmaksudnya untuk meledekku karena dia tahu apa yang kurasakan, atau diamengatakannya dengan asal, tapi yang pasti itu berhasil membuat wajahku terasapanas.

***

Sekali LagiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang