-33-

733 145 3
                                    

***

"Kapan-kapan kalau Om minta bantu di lapangan lagi, masih mau?" tanya Om Syuja setelah meletakkan cangkir di atas meja.

"Boleh, Om," sahutku sembari berusaha menahan antusiasme supaya enggak terlihat berlebihan.

Om Syuja mengangguk. "Alloy bilang kerjamu di lapangan bagus, nanti kita bisa cari orang buat bantu mengerjakan laporan."

Aku terdiam, enggak menyangka kalau Bang Alloy memujiku di depan Om Syuja.

Mas Arsa pulang ketika jam menunjukkan pukul 20:15 WIB. Alih-alih bersikap manis setelah lama enggak ketemu, dia justru meledekku di depan orang tuanya.

"Cieee, yang makin gosong!"

Aku enggak bisa membalas ucapannya, atau memukul lengannya di depan Om Syuja dan Tante Ai', yang bisa kulakukan hanya berusaha mengontrol ekpresiku supaya tetap terlihat biasa saja di saat sesungguhnya aku geregetan dengan cowok yang tengah mencium punggung tangan orang tuanya.

Untungnya Tante Ai' menggantikanku dengan memukul lengan Mas Arsa sewaktu dia mencium punggung tangan beliau.

"Senang banget kamu godain Aby," tegur Tante Ai' yang malah dibalas dengan cengiran.

"Kamu antar Aby pulang, biar enggak makin kemalaman," kata Om Syuja saat Mas Arsa masih berlutut di depan Tante Ai'.

Om Syuja dan Tante Ai' menurutku adalah orang tua yang berhasil mendidik anak-anak beliau. Bukan hanya Mas Arsa, tapi Bia atau Mas Abhi selalu akan berlutut untuk memberi salam di saat orang yang lebih tua dalam posisi duduk. Itu hanya satu dari sekian banyak sikap baik yang sering aku lihat dari ketiga bersaudara itu.

"Oke, Bos!" sahut Mas Arsa sigap. "Barang-barangmu di mana?" Kali ini dia melihat ke arahku yang duduk di single sofa sebelah kiri.

"Kamar Bia, aku ambil—"

"Enggak usah, biar aku ambil," potong Mas Arsa. "Semua sudah di dalam kan? Enggak ada yang di luar?"

"Enggak," jawabku, lalu Mas Arsa mengangguk sambil berdiri.

Aku pamit pulang setelah Mas Arsa membawa keril dan ranselku turun.

"Besok atau lusa aja ya aku antar Moa, biar kamu bisa istirahat dulu di rumah," kata Mas Arsa sewaktu kami jalan menuju mobil.

"Terserah Mas bisanya kapan," sahutku singkat. Mas Arsa menengok sambil tersenyum ke arahku.

Selagi dia mengatur keril dan ransel di bagian tengah, aku berdiri di samping pintu depan bagian penumpang.

"Sudah makan kan tadi?" tanya Mas Arsa, sedikit mengejutkanku karena saat dia sibuk menata barang, sepasang netraku terus memperhatikan gerak-geriknya.

"Hmm," timpalku dengan dibarengi anggukan kecil.

"Mau langsung pulang?" Dia kembali bertanya, dan lagi-lagi aku membalas dengan anggukan.

Mas Arsa tersenyum, tangan kanannya terulur menyentuh puncak kepalaku, sementara tangan kirinya membantuku membuka pintu. Meski hanya sentuhan ringan, anehnya itu membuat jantungku berdetak lebih cepat dari sebelumnya. Dan yang lebih aneh lagi meskipun pintu sudah dibuka oleh Mas Arsa, sepasang kakiku seperti terpaku dan enggak bisa beranjak untuk segera masuk ke mobil.

"Kenapa?" tanyaku ketika menyadari Mas Arsa enggak berhenti melihatku sambil tersenyum.

Bukannya langsung menjawab, senyum di wajahnya justru tampak makin jelas, dengan sepasang mata agak menyipit.

"Mas?" panggilku, sambil diam-diam berusaha menahan debaran di dada yang terasa makin di luar kendali gara-gara melihatnya tersenyum dengan jarak yang cukup dekat.

"Kangen banget aku sama kamu."

Mas Arsa mungkin enggak bisa mendengar debar jantungku yang menggila, tapi aku yakin dia bisa melihat semerah apa wajahku sekarang.

***

Sekali LagiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang