-16-

1.7K 509 19
                                    

***

“Apa kabar, Dek?”

Aku tercenung di tempatku berdiri sambil menggendong Luna, dengan tatapan sama sekali enggak teralih dari sosok yang masih mengenakan ransel di punggungnya.

“B-baik,” sahutku sedikit terbata ketika menyadari kalau Bang Alloy menunggu responku.

“Abang apa kabar?”

“Baik.” Dia menjawab diiringi senyum yang selama ini masih melekat jelas dalam ingatanku.

“Sendirian kamu?”

“Iya, yang lain sudah balik dari habis buka."

Kali ini Bang Alloy merespon dengan anggukan kepala, tapi senyumnya kembali muncul. Aku ingat, pertama kali melihatnya tersenyum di penghujung acara ospek, membuatku sedikit terkejut. Karena kupikir, Bang Alloy orang yang kaku.

“Lah, sudah ketemu aja di sini.”

Celetukan Mas Arsa yang baru muncul dari pintu samping, membuat aku dan Bang Alloy sama-sama menengok ke arahnya.

“Ayah di mana?” tanya Mas Arsa yang berdiri di samping Bang Alloy.

“Enggak tahu,” sahutku, “habis tarawih tadi belum ketemu lagi.”

“Terus, kenapa anakku bisa kamu gendong?”

Aku mengerjap, sedikit bingung karena enggak menyangka Mas Arsa akan menanyakannya.

“Sini,” pinta Mas Arsa dengan tangan terulur, membuatku mau enggak mau menyerahkan Luna padanya.

“Ayo Bang, istirahat di kamarku.” Mas Arsa langsung mengajak Bang Alloy begitu Luna sudah berpindah ke gendongannya.

Setelah Bang Alloy mengiyakan, keduanya melangkah menuju tangga, meninggalkan aku yang masih menatap sosok Bang Alloy dalam diam.

Entah kenapa, aku merasa ada yang hilang meski sempat berhadapan langsung dengannya.

Bukan tentang debar itu, karena diam-diam aku masih merasakannya begitu mata kami bertemu. Tapi sikap tenang Bang Alloy yang justru membuatku merasa kehilangan.

***

Regards,

-Na-

Sekali LagiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang