-23-

1.1K 293 9
                                    

***

Obrolan terakhirku dengan Mas Arsa via telepon hari itu terus terngiang di telinga. Setelah melihat sendiri respon yang diberikan Papa untuk pertemuan pertama mereka, kupikir dia akan berhenti, minimal mundur. Karena aku sadar bagaimana Papa menunjukkan sikap enggak bersahabat beliau sejak pertama kali melihat Mas Arsa sampai dia pulang.

Nyatanya, dia malah kembali melontarkan ucapan nyeleneh dan membuatku refleks memutus sambungan dengan detak jantung yang enggak karuan.

"Apa kamu minta langsung aku nikahin?"

Sudah enggak terhitung berapa kali aku mendesah tiap kali mengingatnya. Suara ketukan dari luar kamar membuatku yang sedari tadi duduk tanpa melakukan apapun di balik meja belajar, refleks menengok ke belakang.

"Ya?" sahutku masih dengan posisi duduk.

"Ada Mas Arsa." Suara Mama terdengar samar, dan begitu nama Mas Arsa disebut, aku segera berdiri menghampiri pintu kamar yang tertutup.

"Mas Arsa?" tanyaku memastikan setelah membuka pintu dan melihat Mama berdiri, menungguku dengan sabar.

Beliau mengangguk dibarengi dengan sepasang mata yang berkedip. Dibandingkan Papa, reaksi yang diberikan Mama memang sedikit lebih baik. Meskipun aku sadar, bahwa beliaupun punya pendapat yang sama seperti Papa. Lebih baik aku banyak berteman, daripada menjalin hubungan dengan satu orang.

"Terus, sekarang dia di ruang tamu sama siapa? Papa?"

Sekali lagi beliau mengangguk, dan entah kenapa itu menimbulkan semacam perasaan cemas. Tanpa pikir panjang, aku segera berjalan meninggalkan kamar untuk menuju ke ruang tamu. Perasaan cemas itu terasa makin kuat ketika aku membayangkan sekarang ini Mas Arsa hanya berdua saja dengan Papa.

Dan kecemasanku terbukti ketika tiba di ruang tamu terlihat Papa duduk dengan ekspresi dingin, sementara Mas Arsa langsung tersenyum begitu melihatku.

"Hai By," sapanya seraya berdiri, "Minal Aidin Wal Faidzin ya," imbuh Mas Arsa dengan tangan terulur, dan aku merespon dengan ucapan yang sama sekaligus membalas uluran tangannya untuk berjabat tangan singkat.

Aku pikir setelah datang dan bertemu Papa beberapa hari yang lalu, dia enggak akan mau datang ke rumah, apalagi momen lebaran juga sudah lewat dua hari lalu. Ini pertama kalinya kami bertemu lagi secara langsung.

"Duduk Mas," ajakku dan dia mengiyakan sambil tersenyum.

Hanya selang beberapa saat setelah kami berdua duduk, Papa berdehem, lalu sekitar tiga atau empat detik kemudian beliau berdiri. "Papa masuk dulu," pamit beliau yang hanya melihat ke arahku.

Sekalipun aku mengerutkan kening, beliau tetap meninggalkan kami berdua di ruang tamu.

"Ngobrol apa aja tadi sama Papa?" tanyaku setelah memastikan Papa benar-benar pergi.

Mas Arsa yang tampak tenang di tempatnya duduk, kembali tersenyum sebelum kudengar dia bicara. "Enggak banyak, baru ngucapin Minal Aidin, terus nanya mudik ke mana."

"Papa yang nanya?"

"Aku," sahutnya dibarengi dengan senyuman lebih lebar.

***

Sekali LagiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang