2 Tahun KemudianSuara roda kereta api yang bergesekkan dengan kedua bilah rel terdengar cukup nyaring. Yoona menoleh keluar jendela kereta. Gelap. Tak ada satupun cahaya lampu yang bisa ditangkap oleh kedua matanya. Apakah keretanya baru saja masuk ke dalam sebuah terowongan?
Yoona memutar pergelangan tangan kirinya dan membaca angka serta jarum jam yang tertera di arlojinya. Sudah lebih dari setengah perjalanan, sekitar satu jam lagi keretanya akan tiba di Stasiun Seoul.
Yoona menutup halaman majalah terbaru Teen Allura yang dipimpinnya selama dua tahun ini. Meskipun ia sudah cukup puas dengan tampilan serta isi majalah itu, masih ada banyak ruang perbaikan yang bisa mereka olah lagi. Itu semua merupakan tantangan yang sangat disukai oleh Yoona. Tapi, ia akan memikirkan semuanya di hari yang lain. Saat ini ia hanya ingin menikmati sisa perjalanannya menuju Seoul.
Yoona menyingkirkan majalah Teen Allura ke atas bangku di sampingnya. Ia masih mempertahankan kebiasaan lamanya membeli tiket untuk bangku di sebelahnya. Untunglah suaminya tak pernah protes ia membuang-buang uang untuk membeli dua tiket untuk setiap perjalanan. Lelaki baik itu tidak pernah lagi mempertanyakan sejak kapan sang isteri mempunyai kebiasaan unik tersebut. Hidup Yoona memang sudah banyak berubah, namun masa lalunya tetaplah sama.
Saat meletakkan majalah Teen Allura tadi, kedua mata Yoona memandang kotak cokelat Godiva yang ada di atas bangku sebelah. Sebuah kertas kecil tertempel di atas tutup kotak.
Masih ingatkah kau dengan jalanan cobblestone di West Village, New York yang sering kita susuri bersama tahun lalu? Jalan itu masih terhampar kokoh meskipun sudah berusia satu abad lebih. Seperti itu juga cintaku untukmu, takkan pernah lekang oleh waktu.
Yoona mencabut kertas kecil tadi. Ia tersenyum membaca tulisan tangan suaminya. Apakah ia menikahi si romantis itu karena dia begitu pandai merayu? Ah tidak, ia takkan terbuai oleh rayuan semata. Ada hal lain yang membuat Yoona mampu mengenang masa lalunya yang pahit tanpa rasa getir selama ia berada bersama dengan suaminya. Itulah alasannya menikahi pria itu. Ia ingin dicintai dan mencintai....
Yoona melipat kertas kecil tadi dan memasukkannya dengan sangat hati-hati ke dalam tasnya. Ia kemudian duduk sambil memanjangkan kaki dan mencoba untuk rileks. Namun benaknya malah tak mau diam.
Di masa mudanya dulu, suaminya adalah seorang playboy. Yoona tak pernah mengetahuinya secara pasti, ia hanya mendengarkan pengakuan sang suami tanpa rasa marah ataupun cemburu. Mengapa mesti cemburu? Masa lalu bukanlah sesuatu yang bisa mereka ubah. Suaminya punya masa lalu, ia juga punya masa lalu. Bukankah yang terpenting adalah masa kini dan masa depan?
Kondisi Yoona sekarang membuatnya mudah merasa letih. Tak lama kemudian iapun tertidur dan baru terbangun saat kereta hampir mendekati Stasiun Seoul.
Yoona memasukkan majalah ke dalam tas tangannya dan meraih kotak cokelat Godiva. Ia meraba tutupnya dan tersenyum. Senyum yang berisi nostalgia manis.
Tujuh menit kemudian kereta malam terakhir itupun tiba di tujuannya. Yoona membiarkan beberapa penumpang mendahuluinya untuk turun. Dengan sabar ia menunggu sampai gerbong kereta hampir kosong sebelum beranjak dari kursinya. Ia kemudian menggeret koper Samsonite pink miliknya ke arah pintu keluar kereta. Ia harus memastikan diri untuk berhati-hati agar tidak tersandung jatuh saat turun nanti.
Tapi sebelum kaki kanan Yoona menyentuh lantai peron, sebuah tangan yang kokoh mengambil alih koper yang dipegangnya.
"Selamat datang kembali, Sayang. Bagaimana Busan?" Pria tampan yang jangkung itu segera merangkul pinggang Yoona. "Menyenangkankah?"
KAMU SEDANG MEMBACA
LAST TRAIN TO SEOUL || VYOON FANFIC
FanfictionHanya karena sebuah kejahilan yang salah sasaran, kesucian Yoona direnggut secara paksa oleh Taehyung tanpa mereka pernah saling mengenal atau mengetahui wajah masing-masing. Sepuluh tahun kemudian Yoona bertemu lagi dengan Taehyung di dalam sebuah...