Bab 16

648 95 32
                                    


Sudah sejak beberapa bulan lalu Taehyung menyadari bahwa cepat atau lambat ia harus berhadapan dengan ayah Yoona, namun ia tak menyangka bahwa pertemuan mereka akan terjadi secepat ini.

Air muka Taehyung terlihat begitu pucat. Mulutnya bahkan tak mampu ia buka.

"Appa!" Ara berlari kecil menyongsong kedatangan ayahnya. "Appa sudah kenal dengan Kakek? Pasti belum, ya?"

"Ka---kakek?" Taehyung menelan ludah. Ia tak berani menoleh pada ayah Yoona.

"Iya, Kakek." Ara memeluk perut Tuan Lim. "Kakek adalah ayahnya Yoona ahjumma."

"Ah, ya. Ap---Appa tahu."

"Tae, kenapa cuma berdiri di situ saja? Ayo masuk." Yoona menghampiri mereka bertiga.

Taehyung merasa kakinya sulit untuk digerakkan. Ayah Yoona berdiri menghalangi pintu masuk.

"Appa, ini Taehyung. Taehyung, ini ayahku." Yoona memperkenalkan ayah dan kekasihnya. Ia melirik sekilas pada mereka berdua. "Ayo, Ara. Kita kembali ke dapur." Ajaknya pada si kecil.

"Ayo!" Ara menggandeng tangan sang ahjumma.

"Sudah lama sekali, bukan?" Tuan Lim menatap Taehyung begitu Yoona dan Ara meninggalkan mereka.

Taehyung mengangguk. "Ya, sudah sembilan tahun." Ia menelan ludah.

"Sembilan tahun...."

_______________________________________

Sembilan Tahun Silam

Tuan Lim duduk termenung di samping ranjang rumah sakit. Hatinya kalut dan terasa begitu pedih. Ia menyentuh tangan mungil cucunya.

Cucunya, cucu perempuannya, belum genap sebulan. Umurnya masih delapan hari. Namun sudah begitu banyak derita yang mesti ditahan oleh bayi cilik itu. Dia tak mendapatkan susu ibunya, tak pernah diacuhkan oleh sang ibu hingga terserang demam tinggi. Tolong maafkan ibumu, Nak. Ibumu bukan orang jahat, keadaanlah yang membuatnya menjadi seperti ini. Orang lainlah yang telah berbuat sangat keji pada ibumu. Ibumu yang sangat malang.  Lim menyeka airmata yang menitik di pelupuk matanya. Cucunya----yang masih belum bernama itu----menangis. Suaranya begitu lirih, merintih tak berdaya.

Tuan Lim mengusap-usap kening si bayi. Apakah anak itu lapar? Sakit? Sakitkah dia?

"Suster! Suster!" Tuan Lim berlari keluar dari bangsal anak. "Cucu saya. Dia menangis."

Seorang perawat yang baru keluar dari kamar yang lain, menghela nafas melihat Tuan Lim. "Mungkin cucu Bapak lapar. Nanti saya akan cek."

"Cek sekarang, Suster. Mungkin dia demam lagi. Mungkin lukanya... Lukanya...." Tuan Lim nyaris menarik tangan sang suster agar mau memeriksa cucunya saat itu juga.

Suster bertubuh gempal itu sedikit iba melihat pria setengah baya di hadapannya. Seingatnya, pria tua itu sama sekali belum meninggalkan rumah sakit sejak dia tergopoh-gopoh menggendong cucunya yang tersiram air panas-----luka bakar level dua yang akan meninggalkan bekas seumur hidup di lengan dan dada bayi malang tersebut.

"Tolong periksa cucu saya sekarang, Suster."

"Baik, Pak. Baik." Suster gempal tadi mengikuti Tuan Lim masuk ke dalam bangsal yang diisi oleh lima pasien anak lainnya.

Demam yang diderita cucunya sudah turun sejak kemarin, namun luka bakar melepuh yang membentang di atas siku kiri dan dada anak itu masih menyisakan rasa sakit yang tak terperikan di tubuh sang bayi.

Tuan Lim terduduk lemas di samping cucunya. Matanya nanar memandang langit-langit rumah sakit. Selang dua menit kemudian tatapannya turun ke tubuh sang cucu. Berbeda dengan Yoona yang begitu membenci anak itu, Tuan Lim justru merasa sayang dan iba. Meskipun bayi itu tercipta dengan cara paling keji yang pernah ada, bagaimanapun juga anak yang dilahirkan oleh Yoona adalah cucu kandungnya. Walau darah bajingan itu mengalir di setengah tubuh cucunya, darahnya dan darah Yoona juga mengaliri bagian tubuh yang lain. Anak itu adalah keturunannya, anggota keluarganya.

LAST TRAIN TO SEOUL || VYOON FANFICTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang