44

6.7K 759 203
                                    

Dulu kehidupan Stela baik-baik saja. Ia mempunyai keluarga yang harmonis serta harta melimpah sehingga tidak kekurangan apapun.

Stela juga mempunyai teman yang baik. Mereka selalu berada di samping gadis itu.

Awalnya waktu pulang sekolah. Stela ingin memberitahu dirinya mendapatkan juara satu.

Namun, senyumannya seketika menjadi luntur. Ia menemukan sang mamah tersungkur dengan memegang pipinya.

"Maksud kamu apa, Mas? Kenapa kamu bawa wanita jalang itu?! Aku kira kamu sudah tidak berhubungan dengan wanita itu."

"Jangan panggil dia jalang! Dia lebih baik dari kamu!"

Stela menatap pemandangan tidak terduga dengan air mata berkaca-kaca. Ia melepaskan tasnya dengan berlari lalu melempar ke arah wanita yang sok tersakiti.

"Stela! Papah tidak pernah ajarkan kamu begini!"

"Benar, itu semua juga karena papah! Lalu kamu wanita brengsek. Apa yang kamu kasih kepada papah saya? Tubuh atau ... pelet?" desis Stela dengan menatap tajam.

Plak!

"Kamu jangan kurang ajar! Dia akan jadi mamah dan adik kamu!"

Stela memegang pipinya dengan mata memerah. Ia berjalan lalu membantu sang mamah berdiri.

"Mamah ..."

Stela tertegun saat sang mamah menepis tangannya begitu saja. Ia menatap kepergian sang mamah dengan tatapan tidak percaya.

"Mamah mau ke mana? Stela mau ikut!" teriak Stela dengan berlari menyusul sang mamah.

"Kamu ikut papah saja! Mamah sudah tidak sanggup bayar kehidupan kamu! Nanti malah menyusahkan Mamah!"

Stela menggelengkan kepalanya dengan memegang tangan sang mamah. Ia tidak ingin tinggal bersama sang papah.

"Mamah ... Stela mau sama mamah!" seru Stela dengan menangis tersedu-sedu.

"Sudah jangan pedulikan mamah kamu! Kenalan ini sama adik kamu. Tia ini Stela kakak kandung kamu."

***

Stela menghela napas dengan menundukkan wajahnya. "Mulai waktu itu jalang dan anaknya bertingkah layaknya ratu. Padahal mah cuman beban sama aib keluarga."

Lino hanya diam dengan meringis kecil. Dia itu tidak bisa menenangkan orang sedih. Ia hanya bisa menenangkan dan menaklukkan hati Arsen.

"Stela yang cantiknya seperti mimi peri. Lo itu jangan sedih nanti tambah jelek udah cukup wajah menyedihkan," ucap Lino menepuk pundak Stela dengan mengangkat tangannya ke atas untuk menyemangati gadis itu.

Stela hanya menatap ke arah lelaki itu dengan muka masam. Akhirnya ia hanya berdiri dengan membenarkan seragamnya.

"Di mana Dean sama Ryan?" tanya Stela dengan mengerutkan keningnya. Ia hanya melihat keberadaan Arsen dan teman-temannya.

"Lah, iya juga! Ke mana tuh dua anak? Dari pagi gue nggak liat mereka," ucap Lino dengan mengerutkan keningnya.

"Gimana, sih? Lo itu sahabat mereka masa gitu aja nggak tau," ucap Stela dengan tertawa lalu menepuk pundak lelaki itu.

"Mana gue tau babi! Emangnya gue nenek moyang dia apa?!" gerutu Lino dengan mendengus malas.

Lino mulai melakukan panggilan telepon dengan raut wajah khawatir. Ia semakin di landa khawatir saat panggilan telepon di tolak lelaki itu.

"Sialan nggak Arsen lalu temen suka bikin khawatir!" umpat Lino dengan menggembungkan pipinya.

Lino segera pergi dengan muka cemberut. Ia bahkan tidak memperdulikan teriakan dari Stela.

Setelah mengambil tas dan peralatan lainnya. Ia segera meninggalkan pekarangan sekolah dengan susah payah walaupun pada akhirnya ia harus menunggu di depan gerbang.

***

Prinsip Lino jika salah satu ke dua sahabatnya itu kenapa-kenapa. Ia pastikan orang itu akan babak belur.

Satu persatu dari rumah mereka ia datangi. Namun, tidak ada menemukan jejak mereka justru ke duanya tidak berada di rumah dari semalam.

"Awas aja gue jadiin kambing guling tuh anak," geram Lino dengan menggeram marah.

Akhirnya salah satu tujuannya adalah apartemen Dean atau markas. Ia memarkirkan motornya di parkiran dengan tersenyum masam.

"Liat emang temen laknat. Keluarga sama sahabat udah khawatir taunya orang itu santai di apartemen," gerutu Lino dengan mendengus.

Saat ingin pergi langkahnya terhenti. Ia melihat beberapa kendaraan yang ada familier baginya.

"Mungkin hanya mirip," batin Lino.

Lino berjalan dengan langkah santai. Ia melangkah dengan membuka ponselnya.

Saat berada di depan pintu. Ia kembali menelepon Ryan dengan muka masam.

"Dean ini gimana Lino telpon gue lagi?!"

"Tolak aja lagi! Gue juga bingung. Arsen ini tunangan lo emang ngeselin."

"Itu urusan kalian. Kenapa harus bawa gue?"

"Ini juga urusan lo kan? Kalau gitu ngapain lo cari gue bahkan telpon kami."

Lino menatap pintu dengan menggembungkan pipinya. Kenapa semua teman-teman dan tunangannya tidak mengajak dirinya?

Namun, bukan itu tujuan dirinya ke sini. Ia hanya ingin mencari tahu alasan mereka berdua tidak turun sekolah.

Bruk!

"Lo berdua gue cariin taunya di sini! Tau nggak bonyok lo pada tadi minta bantuan sama gue, hah?! Emang mau di jadiin geprek ..."

Lino tertegun dengan menatap ke arah leher Ryan. Ia berjalan lalu membuka kerah baju Ryan.

"Ini apa maksudnya? Kalian ngelakuin hal yang nggak senonoh. Dean anjing gue udah sering ngingetin lo jangan ngelakuin hal mesum! Sekarang kenapa ngelakuin ke sahabat lo sendiri! Anjing, ah! Bikin emosi!" sembur Lino dengan menghela napas.

"No ... ini bukan salah Dean. Sebenarnya waktu itu gue mabuk lalu nggak sadar goda Dean," lirih Ryan dengan air mata mengalir.

Lino yang melihat sahabatnya menangis seketika menjadi tidak tega. Ia membawa Ryan ke dalam pelukannya.

"Bukannya Ryan punya pacar? Kenapa ngelakuin hal nggak baik ke Dean?" ucap Lino dengan mengangkat wajahnya menatap langit-langit ruangan.

"Sebenarnya Yeri udah sering jalan sama cowok lain dan gue maklum. Lalu waktu itu dia ke ciduk ciuman sama cowok lain. Gue kecewa justru dia yang beri pilihan antara kalian atau Yeri. Jadi gue pilih kalian yang udah kayak keluarga gue," lirih Ryan dengan mata berkaca-kaca.

Lino hanya menghela napas. Ia menepuk pundak Ryan dengan tersenyum tipis.

"Udah jangan di pikirin lagi itu ular. Kalau lo mau gue bisa buat dia nggak bahagia seumur hidup," ucap Lino dengan mengedipkan matanya.

"Nah, gini dong ketawa! Jangan nangis gue itu nggak bisa bujuk orang sedih kecuali bujuk Arsen, doang!" lanjut Lino dengan cengengesan.

Lino kembali berjalan menuju Dean. Ia tersenyum lebar dengan merenggangkan ototnya.

Plak!

"Lalu lo juga jangan manfaatin Ryan demi kepuasan! Kalau nggak lo gue lempar ke rawa-rawa biar di makan teman spesies lo!" seru Lino dengan mengacungkan jari tengah.

"Iya, Pak Bos!" seru Dean dengan tertawa walaupun kepalanya agak sakit terkena pukulan lelaki itu.

Akhirnya Lino bisa bernapas lega. Ia berlari lalu memeluk tubuh Arsen.

"Capek aku hari ini," ucap Lino dengan menggembungkan pipinya.

"Tapi urusan kita belum selesai sayang," bisik Arsen dengan tersenyum lebar.

"Huh?" ucap Lino dengan mengerutkan keningnya.

***

Jangan lupa vote dan komen :)
Urusan apa ya🤔
Lanjut!

Ardian S2 (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang