"Berbohong karena kebaikan itu sebenarnya tidak ada. Karena sepahit apapun kenyataan itu, kita harus belajar untuk menerimanya."
Yogyakarta saat ini telah reda dari derasnya hujan beberapa jam yang lalu. Matahari yang tadinya malu-malu kini lenyap dimakan senja.
Semua orang yang tadinya berteduh dari hujan, kini mulai berhamburan. Nampak tak sabar untuk mengistirahatkan raga dari lelahnya mencari uang.
Namun, berbeda dengan ketujuh pemuda yang tengah duduk di pinggiran pantai itu.
Mereka seakan enggan beranjak pergi dari sana. Seakan tersihir oleh keindahan detik-detik senja yang lenyap dimakan petang.
Salah satu dari mereka menghela nafas, lalu melipat tangannya di depan dada. "Aku takut, Dika. Tolong jangan pernah lakukan hal bodoh itu lagi ..." ucap pemuda bersurai coklat itu, yang membuat beberapa dari mereka melirik kearahnya.
Sedangkan Dika hanya terkekeh pelan, dan itu langsung mendapat teguran dari Juan yang duduk di sampingnya. Mengingat luka jahitan Dika belum mengering, tentu saja Juan khawatir.
"Semua orang pasti akan merasakan lelah, Agra. Dan aku sudah sampai di puncak kelelahan itu. Aku benar-benar lelah, sampai aku hampir menjadi orang bodoh yang tak tahu diri."
Agra yang mendengar tanggapan dari Dika itu hanya bisa terdiam. Bodoh dan tak tahu diri? Memang benar yang dikatakan oleh Dika barusan. Semua makhluk hidup pasti akan merasakan lelah.
Hanya Tuhan lah yang tidak pernah lelah. Hanya Tuhan lah yang tak pernah tidur. Namun ... apakah perlu sampai nekat ingin mengakhiri semuanya?
Agra tidak menganggap Dika berlebihan karena ingin mengakhiri kehidupnya. Karena dia tahu, luka batin akan selalu membekas. Baik di ingatan ataupun di hati seseorang.
Luka yang bahkan dirinya sendiri tidak tahu apakah itu bisa di sembuhkan. Agra hanya takut. Takut jika jumlah mereka tak lagi sama.
"Kalian, berjanjilah padaku," pandangan mereka beralih menatap Sean. "Berjanjilah untuk terus bersama, dengan jumlah yang sama," ucap pemuda itu, lalu menatap satu persatu sahabatnya dengan memalingkan kepalanya ke kanan dan ke kiri.
Demi apapun, ia ingin terus bersama mereka semua. Sampai dewasa, sampai rambut mereka memutih, sampai memiliki anak cucu yang menggemaskan. Ia sangat ingin nantinya mereka semua dan dirinya hidup dengan di kelilingi euforia.
Hingga akhirnya berpulang. Hingga akhirnya di kebumikan dan di tempatkan berjejer.
"Tentu saja. Jika perlu kita jodohkan saja anak-anak kita nantinya!" timpal Juan dengan semangat, kemudian disusul gelak tawa dari yang lainnya.
"Boleh saja, aku ingin anakku nantinya menikah dengan Sean."
"Dengan Sean? Kau ingin anakmu nantinya menikah dengan Sean, Haikal?" ucapan Agra membuat haikal tersadar kalau perkataannya tadi begitu ambigu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Amreta [N'Dream] ✔️
Teen Fiction❗FOLLOW SEBELUM MEMBACA❗ tinggalkan jejak (vote, comment) sebagai pembaca aktif. walau udah end, tetep vote dan komen ya! biar AMRETA jadi cerita yang bisa menginspirasi banyak orang. atau mungkin.. kamu salah satunya? - Apa jadinya bila tujuh raga...