"Semua berakhir. Aku terlalu terluka hanya untuk sekadar mengikhlaskan."
Biar rada nge-feel, coba dengerin lagu sampai jadi debu / perahu kertas
'''
Siapa sangka hari-hari Jogja begitu cepat berlalu? Aksa bahkan tak pernah mau menunggu datangnya hari ini. Hari yang merepotkan. Memakai setelan jas, dan juga sabuk di celananya.
Ya, ini hari di mana acara kelulusannya diadakan. Jika saja boleh tidak hadir, Aksa lebih memilih berbaring di ranjang. Bernostalgia bersama Juan dan teman-temannya, walaupun berakhir membasahi sprei dengan air mata.
Kini, ia telah sampai di tempat parkir sekolah. Bersama dengan sang Ayah dan orang tua teman-temannya, Aksa menuntun mereka semua untuk masuk ke dalam hingga duduk di tempat yang sudah disediakan.
Semuanya terdiam, mendengarkan pembawa acara yang berbicara dengan lantang di atas panggung. Aksa tidak terlalu memperhatikan itu, ia sibuk bertarung dengan pikirannya sendiri. Pemuda itu takut. Takut tidak bisa membanggakan sang Ayah.
Hingga akhirnya yang ditunggu-tunggu Aksa tiba. Pemberian piala pada siswa-siswi yang masuk paralel. Aksa dengan kesadaran penuh berusaha mendengarkan seksama. Memahami setiap kalimat yang diucapkan dengan lantang menggunakan mic tersebut.
"Nanti yang saya panggil namanya harap maju ke atas panggung." setelahnya, tempat ini dipenuhi suara riuh tepuk tangan saat paralel lima disebutkan. Namun, itu membuat jantung Aksa secara otomatis menambah ritme kecepatannya.
Rematan pada celananya semakin erat saat guru perempuan tersebut sudah sampai di peralel dua. "Selamat kepada saudari Lintang Kahfa Sabumi karena pencapaiannya. Waktu dan tempat dipersilahkan." setelah perempuan itu maju, guru laki-laki di sana memberikan map, menyondorkan tangannya untuk dijabat oleh Lintang.
"Jika kemarin paralel satu dipegang oleh Juana Praditian, kali ini pemegangnya bergeser ke saudara kembarnya. Wah, kalian pasti tau kan, saudara kembar Juan?" Aksa mengerutkan keningnya. Saudara kembar Juan? Berarti.. paralel satu diraih oleh dirinya?
"Betul! Aksa! Selamat kepada saudara Aksa Adyaksa atas pencapaian dan kerja kerasnya. Waktu dan tempat dipersilahkan." Aksa perlahan berdiri dengan air muka bingung. "Benar Aksa, Yah? Aku? Aksa Adyaksa?" tanya pemuda itu pada sang Ayah.
Pria di sampingnya mengangguk, menepuk sekali bahu Aksa agar sang Anak segera maju ke atas panggung, hingga air matanya tak mampu lagi ia bendung. Ini air mata bahagia pertamanya setelah sekian lama tak ia keluarkan. Aksa, jagoannya itu berhasil.
Aksa berjalan perlahan menuju panggung, menerima map yang diberikan oleh guru laki-laki itu dengan hati senang bukan main. Pandangannya tak lepas dari sang Ayah yang tersenyum hangat sembari tangan yang ia tepukan berulang kali.
KAMU SEDANG MEMBACA
Amreta [N'Dream] ✔️
Teen Fiction❗FOLLOW SEBELUM MEMBACA❗ tinggalkan jejak (vote, comment) sebagai pembaca aktif. walau udah end, tetep vote dan komen ya! biar AMRETA jadi cerita yang bisa menginspirasi banyak orang. atau mungkin.. kamu salah satunya? - Apa jadinya bila tujuh raga...