"Seperti bahagia, kau juga berhak untuk kecewa."
"Aku khawatir dengan Agra," ucap Haikal, dengan sebatang rokok yang ia apit di antara jari telunjuk dan jari tengahnya. Pemuda itu memasukan rokoknya ke dalam mulut. Menghisapnya, lalu kepulan asap keluar dari lubang hidung Haikal.
"Kenapa?" tangan Aksa menutup hidung dan mulutnya saat asap rokok melewati indra penciumannya. "Anak itu menjadi sangat murung." Haikal melirik Aksa, lalu membuang rokok yang baru saja ia nyalakan ke aspal. Menginjaknya dengan sepatu yang ia pakai.
Aksa mengernyit, dalam hati ia berkata jika anak di depannya ini aneh. "Kenapa dimatikan?" Haikal beralih membuka permen yang beberapa jam yang lalu ia beli di warung, memasukannya ke dalam mulut.
"Kalau tidak di matikan, aku takut kau yang akan mati nanti." tawa kecil muncul dari sampingnya, membuat Haikal menatap pemuda yang tertawa dengan mata yang tak terlihat.
"Aku serius. Aku tidak mau kau pergi."
"Yang bisa mati itu kau, Haikal. Karena kau yang mengonsumsinya. Aku kan tidak." Masih dengan tawa yang sama, Haikal mendengus.
"Merokok atau tidak ... aku akan tetap mati juga, kan? Lagipula kau sudah menjadi perokok pasif karena sering dekat denganku. Yang terpenting, jangan mengambil keputusan seperti Dika."
"Sudah dua minggu, Haikal. Kau jangan terus-terusan bersedih. Contohlah Sean. Dia bahkan tidak menangis sedikitpun semenjak Dika pulang,"
"Dia hanya pura-pura kuat saja! Aku rasanya ingin memberikan perasan bawang merah ke matanya. Menyebalkan. Bukankah tidak ada manusia yang kuat?" Haikal mengunyah permennya, lalu membuang batang berwarna putih itu ke sembarang arah.
"Kau benar. Kita ... terlalu lemah untuk semesta yang kejam," ucap Aksa menyetujui perkataan Haikal. "Agra memang yang paling terluka di antara kita berenam." perkataan itu membuat Haikal menatap langit biru yang cerah.
"Karena dia yang paling dekat dengan Dika. Aku yang saudaranya saja tidak sedekat itu." Aksa melirik sekilas. "Agra dan Dika sudah bertemen sejak kecil. Dan kalian? Kalian baru bertemu lima tahun yang lalu, Haikal ... itu wajar." Ucapnya, yang di angguki oleh Haikal.
"Dan lima tahun yang lalu juga, Ayah meninggalkanku. Kenapa Ibu sangat cepat melupakan Ayah, ya?"
"Tuhan pandai membolak-balikan hati seseorang, Haikal. Dan aku yakin, sebenarnya Ibumu tak secepat itu melupakan Ayahmu. Dia hanya ingin mencari warna yang hilang dari hidupnya."
"Meski dengan cara yang salah?" tanya Haikal, matanya menatap kosong jalanan yang sepi kendaraan di balik pagar rumahnya. "Karena terlalu kehilangan, manusia bisa saja tiba-tiba tidak bisa membedakan mana yang benar dan mana yang salah." Haikal menghela nafas.
KAMU SEDANG MEMBACA
Amreta [N'Dream] ✔️
Teen Fiction❗FOLLOW SEBELUM MEMBACA❗ tinggalkan jejak (vote, comment) sebagai pembaca aktif. walau udah end, tetep vote dan komen ya! biar AMRETA jadi cerita yang bisa menginspirasi banyak orang. atau mungkin.. kamu salah satunya? - Apa jadinya bila tujuh raga...