"Kita ini hanyalah boneka yang dikendalikan oleh semesta. Tidak lebih."
"Baba aku mohon-"
"APA KAU TIDAK MENGERTI JUGA, HAH?! BABA SUDAH BILANG BERKALI-KALI PADAMU AGAR MENJAUHI MEREKA!"
"Mereka satu-satunya temanku, Baba ..."
"Kau bisa bermain dengan handphone mu. Lagipula, apa untungnya berteman dengan mereka? Apa bisa membuatmu peringkat satu, hah?!" Sean hanya diam. Dadanya naik turun dengan hembusan nafas kasar.
Ia benci saat ini. Saat Baba membicarakan soal peringkat satu. Dan yang membuat Sean lebih benci adalah saat Baba secara tidak langsung membandingkannya dengan Juan. Ya, si pintar Juana.
Sejak satu jam yang lalu, Baba terus saja menyemprot Sean tanpa henti dengan segala bentakan-bentakannya. Alasannya cukup sederhana.
Terlambat.
Sepele. Hanya karena Sean terlambat setengah jam dari waktu yang di tentukan Baba. Bahkan ini baru menginjak pukul sebelas lebih tigapuluh menit. saat pukul sepuluh lebih tigapuluh menit tepatnya setelah pemuda itu baru saja masuk kedalam rumah, ia langsung di sambut dengan kemarahan Baba.
Melihat Sean yang hanya diam sembari menundukkan kepalanya dalam-dalam membuat Baba meliriknya dengan tajam.
"Tidak, kan?! Mereka hanya membawa pengaruh buruk bagimu. Pulang larut, membangkang Baba, bahkan berbohong." Setelahnya, Baba pergi menuju dapur untuk menyiapkan makan malam mereka.
Terkadang Sean heran dengan Babanya. Ia selalu marah, bahkan tak segan untuk memukulinya atau bahkan mengurungnya di kamar mandi. Namun, kepala keluarga Aksara itu selalu memperhatikannya.
Tidak, lebih ke 'peduli'. Walau seringkali kasar, Baba tidak pernah menghukum Sean dengan cara "tidak boleh makan". Ia selalu menyiapkan makanan sehat untuk Sean.
"Baba itu baik, kan?" Gumam Sean, matanya berkaca-kaca kala ingatannya mengajak pemuda itu untuk bernostalgia. Tepatnya saat pertama kali Sean memanggil Ayahnya dengan sebutan 'Baba'.
"Sean harus memanggil Ayah Aksara, Ayah, ya?"
"Ayah!" ucap Sean kecil yang sekiranya berumur dua tahun. Perempuan berkepala dua di depannya tersenyum cerah. "Iya, pintarnya anak Bundaaa!" ucapnya, lalu mengangkat tubuh kecil Sean ke langit.
"Bubuu!" Perempuan itu mengernyit kala sang anak mengatakan kalimat manis itu. "Sean belajar dari mana, hm? Kau masih kecil saja sudah bisa berkata manis." tawa itu terdengar merdu, yang membuat Sean kecil juga ikut tertawa.
KAMU SEDANG MEMBACA
Amreta [N'Dream] ✔️
Teen Fiction❗FOLLOW SEBELUM MEMBACA❗ tinggalkan jejak (vote, comment) sebagai pembaca aktif. walau udah end, tetep vote dan komen ya! biar AMRETA jadi cerita yang bisa menginspirasi banyak orang. atau mungkin.. kamu salah satunya? - Apa jadinya bila tujuh raga...