"Aku akan bahagia, demi kalian."
"Yang lalu, semoga berlalu.
Yang luka, semoga lekas sembuh.
Ini aku, yang selalu menantimu, saudaraku..
Hidup bukan hanya tentang satu ditambah satu sama dengan dua, tapi tentang luka, suka, juga kehilangan.
Dan kehadiranmu menjadi luka, suka, sekaligus kehilangan bagiku."Ruangan ber-AC itu hening, kemudian gelak tawa terdengar di detik berikutnya saat sebuah puisi pendek dibacakan oleh seorang anak laki-laki di depan. Dengan tampang polosnya, Anak itu menggaruk kepalanya.
"Shaka, itu buatan kamu?" anak itu menoleh, mendapati guru perempuan yang sudah setengah berdiri di sampingnya. "Bukan, Bu guru." jawab Shaka, disertai gelengan.
"Kan, Bu guru bilang agar kamu membuatnya sendiri. Terus ... kenapa kamu malah minta dibuatkan oleh orang lain?"
"Ayah bukan orang lain, Bu guru. Shaka dibuatkan oleh Ayah," ucap Anak tersebut, mata besarnya berkaca-kaca. Bibirnya melengkung ke bawah, bersiap menumpahkan air mata di detik berikutnya.
"Eh? Iya, tidak apa-apa, Shaka ... jangan menangis, ya?" guru perempuan tersebut menepuk kecil punggung Shaka, kemudian menempelkan telunjuknya pada bibirnya sendiri. Mengisyaratkan Shaka untuk berhenti menangis.
"Maafkan Shaka Bu guru ..."
"Iya, iya. Bu guru maafkan. Shaka sekarang kembali duduk, ya? ke tempat duduk Shaka sendiri." Anak itu mengangguk, kemudian mendudukan dirinya di atas salah satu kursi yang berada di tengah-tengah.
"Jadi, itu bukan buatan Shaka?" pertanyaan itu Shaka dapatkan bersamaan dengan dirinya yang baru saja menduduki kursi. "Iya, Kias. Maaf telah berbohong pada Kias ..." ucap Shaka, matanya berkaca-kaca kembali.
"Ih? Jangan nangis dong. Kan Kias cuma nanya doang ke Shaka." Shaka kembali mengangguk, kemudian menghapus air mata yang bersiap tumpah dengan ujung lengan pakaiannya.
"Anak-anak, bereskan semua peralatan sekolah kalian ke dalam tas, oke? Bu guru langsung akhiri. Silahkan, bisa keluar satu-persatu yaa ..."
'''
"Mamaa!"
"Kenapa, sayang?"
"Ini, kata Bu guru, Shaka diminta untuk membuat puisi lagi." wanita itu tersenyum, kemudian berjongkok untuk menyamakan tingginya dengan sang Anak.
"Loh? Kan kemarin udah Ayah bikinin puisinya?" heran wanita itu, mengambil kertas berukuran sedang yang sedang anak laki-lakinya pegang.
KAMU SEDANG MEMBACA
Amreta [N'Dream] ✔️
Teen Fiction❗FOLLOW SEBELUM MEMBACA❗ tinggalkan jejak (vote, comment) sebagai pembaca aktif. walau udah end, tetep vote dan komen ya! biar AMRETA jadi cerita yang bisa menginspirasi banyak orang. atau mungkin.. kamu salah satunya? - Apa jadinya bila tujuh raga...