Jangan lupa vote dan comment nya...
***
Lahir dari keluarga sederhana, sepasang suami istri yang hanya seorang buruh tani, Karso dan Darsih, membuat Mentari terbiasa hidup pas-pasan. Apalah yang bisa didapatkan dengan hasil dari membajak sawah orang? Cukup makan sehari-hari saja sudah amat sangat bersyukur.
Mentari terbiasa melihat teman-teman sekolahnya selalu punya sepatu baru dan tas baru setiap kali kenaikan kelas. Beberapa diantara mereka terlahir dengan hidup yang berkecukupan, ditambah dengan otak yang bisa dibilang pandai. Sementar Mentari? Dia hanya siswi biasa-biasa saja. Satu hal yang membuat Mentari begitu istimewa diantara yang lain adalah semangat pantang menyerahnya.
Seluruh teman-teman sekolahnya tahu betapa inginnya dia bisa menjadi seorang Pengacara. Satu hal yang bisa Mentari pamerkan pada teman-temannya, yaitu ambisinya. Tidak ada satu orang pun yang bisa mengalangi Mentari menggapai mimpinya.
Berbekal beasiswa dari salah satu Universitas di Jakarta, Mentari memberanikan dirinya pergi jauh dari kedua orangtuanya. Karso dan Darsih jelas menentang awalnya. Apalagi kalau bukan karena biaya. Mereka tidak akan mampu membiayai kehidupan Mentari di kota Metropolitan yang tentu saja apa-apanya lebih mahal.
Bukan Mentari namanya kalau sampai kalah dengan keadaan. Kemana lagi Mentari mencari dukungan dan bantuan kalau bukan pada Jagad, kakak lelakinya satu-satunya, orang yang tentu saja selalu mendukungnya.
Jagad mampu meluluhkan kedua orangtua mereka untuk berusaha sedikit lagi. Sebentar lagi Jagad akan lulus dari akademi militernya, tentu dia bisa membantu Mentari. Karso dan Darsih mau tidak mau setuju juga akhirnya.
Senyum Mentari tidak pernah padam ketika dia menginjakan kakinya di Jakarta. Jauh dari kampung halaman, jauh dari orangtua, terlebih lagi dia berada di tempat yang asing, tempat yang sama sekali belum pernah dia kunjungi sebelumnya.
Nyatanya Mentari memang seorang pemberani, Jakarta tidak membuat nyalinya ciut. Di kota inilah selangkah demi selangkah Mentari berjalan menuju pada mimpi-mimpinya, tapi Jakarta juga yang akhirnya menghempaskan Mentari pada kenyataan kalau hidup itu tidak selamanya indah. Senyum itu tidak selamanya ada.
"Ma, Kai ikut eyang ke sawah ya? Mau mandiin sapi. Besok-besok udah nggak bisa lagi mandiin sapi." Suara riang putranya membuyarkan lamunan Mentari. Dia menatap Kai yang sudah siap dengan semua peralatannya untuk ke sawah, padahal ini baru juga pukul tujuh pagi.
"Nanti siang kan kita mau pulang. Kalau mandiin sapi mau sampai jam berapa balik kesininya? Yang ada kita kesiangan nanti pulangnya Kai." Jelas Mentari.
Kai menundukan wajahnya kebawah, menatap ubin sebentar sebelum kembali menatap ibunya dengan wajah yang jauh lebih memelas.
"Yaaaa, mama, nanti Kai kangen sampai kebawa mimpi mandiin sapinya eyang." Mentari menghembuskan napasnya. Dia tahu sifat putranya seperti apa. Keras kepala tidak jauh berbeda dengan dirinya.
"Oke, tapi jam sebelas siang nanti harus sudah ada di rumah, mandi, terus beres-beres semua barang-barang kamu oke?" Mata Kai langsung berbinar mendengarnya. Bocah lelaki itu mengangguk antusias. "Promise me?" Tanya Mentari lagi.
"Promise ma." Kai langsung berlari menghampiri Mentari, mencium pipi ibunya sebelum kemudian beranjak pergi dari sana.
Mentari yang ditinggalkan hanya bisa geleng-geleng kepala saja. Kali ini dia akan membiarkan anaknya bersenang-senang sebelum mereka kembali ke Jakarta nanti. Kapan lagi Kai bisa menikmati hari-harinya kalau bukan libur kenaikan kelas. Tahu sendiri kan seperti apa beratnya menjadi anak sekolah dasar zaman sekarang.
KAMU SEDANG MEMBACA
Mentari Dipersimpangan Hati (Completed)
ChickLitHidup Mentari memang baik-baik saja sekarang. Dia seorang Pengacara yang cukup disegani, punya penghasilan sendiri, mandiri, cantik, pintar, pokoknya masih banyak lagi nilai plus lainnya. Mana ada yang menyangka kalau dulu dia pernah dicampakkan beg...