Jangan lupa vote dan comment nya...
***
Setelah pembicaraan tidak mengenakan dengan ibunya, Mentari jadi lebih banyak diam. Bukan kali pertama ibunya membahas masalah pasangan, dan Mentari tidak suka itu. Menikah atau pun tidak, itu akan menjadi keputusan Mentari nanti.
Mood-nya yang sudah hancur membuat Mentari melewatkan makan malam bersama dengan alasan ingin istirahat. Untung saja Kai tidak curiga. Ini yang membuat Mentari suka malas pulang ke Solo, selain karena masa lalunya tentu saja.
Mengurung diri di dalam kamar jadi pilihan yang paling tepat. Sendiri selalu bisa membuat Mentari jauh lebih tenang. Amarahnya bisa lebih stabil dan terjaga. Semenjak melahirkan Kai, dia benci keramaian karena tatapan mata orang-orang seolah-olah sedang mengulitinya habis-habisan.
Suara ketukan pintu mengalihkan Mentari dari ponselnya. Pintu tersebut terbuka, menampilkan Jagad dengan pakaian santai ala rumahannya. Kaos dan celana pendek. Mentari mungkin sudah lupa kapan terakhir kali dia melihat kakaknya sesantai ini. Biasanya yang dia lihat adalah Jagad dibalik seragam kebanggaannya.
"Kenapa mas?" Tanya Mentari kemudian bangun dari posisi tidurnya dan duduk di tepi ranjang. Jagad hanya diam, langkahnya perlahan membawa dia berada di samping Mentari. Duduk berdampingan dengan adik kesayangannya itu.
"Kamu nggak makan malam? Ibu tadi bikin makanan kesukaan kamu." Kata Jagad lembut. Mentari hanya bisa menundukan kepalanya. Menatap ubin kamarnya yang sudah mulai menguning.
"Lagi nggak mau. Nanti kalau lapar Tari bisa makan sendiri kok mas. Kai kemana?" Tanya Mentari berusaha mengalihkan pembicaraan.
"Biasa, main sama Aruni dan Gendis di ruang tamu. Ada bapak sama ibu juga." Mentari menganggukkan kepalanya mengerti.
Beberapa saat hanya ada keheningan diantara mereka. Baik Jagad maupun Mentari hanya berputar pada pikiran mereka sendiri. Jagad tahu bagaimana watak adiknya. Mentari yang dulu begitu periang berubah menjadi pemurung, penyendiri, dan yang lebih parah adalah begitu sensitif. Karena itu Jagad membutuhkan waktu berpikir lebih banyak ketika akan berhadapan dengan adiknya. Dia tidak mau hanya karena salah bicara membuat Mentari jadi makin menjauh dari mereka.
"Ibu rese ya dek?" Akhirnya Jagad buka suara. Dia menatap lekat wajah Mentari. Adiknya itu tumbuh menjadi wanita dewasa yang makin cantik dibandingkan dengan sebelumnya. Hanya saja ada yang kurang. Jagad merindukan senyum adiknya. Selama sepuluh tahun terakhir ini Jagad hampir tidak pernah melihat Mentari tersenyum setulus dulu. Senyumnya hanya sebatas formalitas belaka sekarang.
"Maafin ibu ya, namanya juga orangtua, jadi suka begitu. Jangan dimasukan ke hati." Lanjut Jagad.
"Ibu cerita?" Mentari menaikan sebelah alisnya. Jagad mengangguk mengiyakan.
"Ibu cuma khawatir sama kamu, tapi cara penyampaiannya aja yang salah. Sudah begini jadi nggak tenang sendiri kan si ibu. Kamu jangan terlalu serius sama omongan ibu, dia cuma terbawa suasana saja karena lagi ada Kai."
Mentari tidak bodoh, dia bukannya tidak tahu kalau Kai selalu ingin bertanya tentang ayahnya. Hanya saja putranya itu memang anak yang pengertian. Dia tahu seberapa tidak sukanya Mentari ketika membahas masalah ayah. Sudah bisa dipastikan kalau Kai pasti berkeluh kesah pada eyang tersayangnya. Mentari bisa apa, dia juga tidak mungkin menyalahkan putranya itu.
"Menurut mas Tari harus gimana?" Pertanyaan yang cukup membuat Jagad kaget. Tumben sekali adiknya yang keras kepala ini meminta pendapat.
"Apapun yang menurut kamu adalah yang terbaik. Kamu ibunya Kai, kamu tentu tahu yang paling terbaik untuk anak kamu. Bukan mas, bukan bapak, bukan juga ibu. Yang mau mas tekankan adalah cepat atau lambat, dia harus tahu ayahnya siapa. Kamu nggak bisa selamanya menyembunyikan semuanya."
KAMU SEDANG MEMBACA
Mentari Dipersimpangan Hati (Completed)
Literatura FemininaHidup Mentari memang baik-baik saja sekarang. Dia seorang Pengacara yang cukup disegani, punya penghasilan sendiri, mandiri, cantik, pintar, pokoknya masih banyak lagi nilai plus lainnya. Mana ada yang menyangka kalau dulu dia pernah dicampakkan beg...