Happy reading all, jangan lupa vote dan comment nya. Thank you...
***
Adrian masih termenung mengamati cangkir tehnya yang tinggal setengah. Adinda memang ingin mendengar semuanya dari mulut putranya, tapi dia juga tidak memaksa Adrian bercerita kalau memang dia belum siap.
"Kamu mau menginap disini Yan? Sudah malam juga." Adinda menatap putranya. Entah mungkin karena mereka sudah lama tidak bertemu, dia merasa putranya jadi lebih kurusan dari sebelumnya.
Adrian menggeleng lemah. Dia tidak ingin lama-lama berada di rumah ibunya. Dia tidak ingin ibunya tahu kalau kehidupannya selama ini menyedihkan. Dia mengambil cangkir teh dan menyesap tehnya kembali.
"Adrian pulang saja ma, ada yang mau dikerjakan juga besok." Adinda mengangguk mengerti. Hening, tidak ada yang bicara lagi. Masing-masing mereka menikmati pikiran mereka sendiri-sendiri.
"Ma...," Kata Adrian menatap ibunya. "Yan banyak salah, sampai bingung sendiri harus memperbaiki dari mana..." Kata Adrian lesu. Adinda menghela nafasnya, kemudian mengelus lengan putranya.
"Satu-satu nak, satu-satu. Jangan membereskan semuanya secara bersamaan. Kamu bukan robot, bukan juga Tuhan." Adinda begitu lembut, sangat-sangat lembut pada anak-anaknya, terutama si sulung Adrian.
Bagaimanapun, Adrian adalah anak yang bertanggung jawab. Dia mungkin telah berubah terlalu banyak, tapi sampai sekarang, Adrian tetap anak yang membanggakan bagi Adinda. Kalau bukan karena Adrian, adik-adiknya tidak mungkin bisa sekolah sampai ke jenjang perguruan tinggi. Jasa Adrian sebagai anak tertua adalah hal yang mungkin tidak akan pernah bisa dibalas oleh adik-adiknya, bahkan oleh dirinya sendiri.
Mereka bukan keluarga kaya raya, terlebih lagi sepeninggal suaminya, ekonomi mereka jadi makin sulit. Adinda harus bekerja banting tulang menghidupi ketiga anaknya. Meminta bantuan saudara pun tidak mungkin dia lakukan terus menerus. Adrian yang berhasil menjadi kepala rumah tangga menggantikan ayahnya. Menyekolahkan adik-adiknya sampai lulus kuliah dan bisa berdiri dengan kaki mereka masing-masing.
"Dulu Adrian punya kekasih, beberapa saat sebelum Yan harus pergi ke Amerika kami putus. Dia sedang hamil, anak Yan, dan Yan menyuruhnya menggugurkan kandungannya...," Adrian berhenti bicara, menatap wajah Adinda yang berubah menjadi tegang sekaligus kaget.
"Yan pikir semuanya sudah selesai, Yan menjalin hubungan dengan Natasha disana, sampai akhirnya, mama tahu apa yang terjadi sekarang kan. Beberapa waktu yang lalu aku kembali bertemu dengan wanita itu. Jujur saja aku masih mencintainya ma, tapi rasanya tidak pantas kalau mau memilikinya kembali setelah aku dulu sempat membuangnya begitu saja. Aku pikir akan lebih baik kami mencari kebahagian kami masing-masing, mungkin dengan cara ini aku bisa menebus dosaku, tapi ternyata dia berbohong ma. Dia tidak menggugurkan kandungannya, dia membesarkan anak itu sendirian tanpa aku ketahui...,"
Adrian tidak sanggup lagi, dia terisak. Dengan cepat Adinda berdiri, merangkul putranya itu dan membawanya masuk ke dalam pelukannya. Mengelus punggung Adrian yang rapuh dan bergetar.
"Aku merasa jadi lelaki paling brengsek sedunia. Setelah ingin melenyapkan anakku, sekarang malah aku ingin mengakui diriku sebagai ayahnya..." Adrian makin terisak. Adinda hanya bisa menelan salivanya berkali-kali, bingung harus berkata apa.
"Jadi..., kamu sudah punya anak?" Tanya Adinda pelan sekali, nyaris tidak terdengar. Anggukkan Adrian bisa Adinda rasakan.
"Laki-laki, kemarin aku sempat melihatnya sekilas saat mendatangi sekolahnya. Ada Melvin disana, dengan bangganya mengklaim dirinya sebagai calon ayah putraku. Aku marah, aku memukulnya, kemudian aku melampiaskannya pada Tante Arimbi. Aku tidak bisa membiarkan Tari menikah dengan Melvin."
KAMU SEDANG MEMBACA
Mentari Dipersimpangan Hati (Completed)
ChickLitHidup Mentari memang baik-baik saja sekarang. Dia seorang Pengacara yang cukup disegani, punya penghasilan sendiri, mandiri, cantik, pintar, pokoknya masih banyak lagi nilai plus lainnya. Mana ada yang menyangka kalau dulu dia pernah dicampakkan beg...