epilog

76 10 0
                                    

"Wonyoung, siramin atuh makamnya."

"Iya-iya, ini gue lagi nyiram kok."

"Jeongwoo, cabut rumputnya."

"Lo juga, To. Jangan diem aja di situ."

"Heh, lo nggak sadar apa, ini ada anak yang gue gendong tau."

Mereka bertiga kini berada di sebuah makam pahlawan yang cukup terpencil dari kota Yogyakarta. Bertahun-tahun mereka menelusuri apa yang mereka rindukan.

Dan kini, terjawab sudah apa yang mereka inginkan.

"Ayah, ini makam siapa? Makam teman ya, Yah?"

"Iya. Ini makam teman Ayah. Coba bilang salam dulu."

"Iya, Assalamualaikum Om, Tante! Rika datang bareng Tante Wonyoung sama Om Jeongwoo, sama Ayah!"

Anak perempuan kecil itu ikut menyapa para makam-makam di sana. Makam Hendra, Gurnito, Cornelia, Margaretha, Raden, Pratama dan Vincent. Para pejuang Indonesia yang akhirnya gugur setelah peperangan berakhir.

Berbeda dengan kisah mereka di mimpi, menurut narasumber dari para keturunan pejuang itu, meninggalnya mereka setelah berhasil mengalahkan pasukan Belanda selama bertahun-tahun menjajah.

Narasumber tempat mereka bertanya itu adalah keturunan dari mereka yang kini telah di makamkan. Sudah jelas, mereka benar-benar ada.

"Nggak nyangka ya, mereka masuk ke mimpi kita dulu. Bikin kenangan bareng kita walau cuma sebentar dan ilusi. Tapi kenangannya indah sih." -wonyoung

"Walau kenangannya penuh perang, ya." -jeongwoo

"Namanya juga singgah di jaman penjajahan dulu ya kan." -haruto

"Ayah, penjajahan itu apa?"

"Nah, Erika. Penjajahan itu artinya Ayah kamu pernah jatuh di selokan dekat-" -jeongwoo

"Ngadi-ngadi lo ya. Jadi gini ya manisnya Ayah, penjajahan itu perang. Yang tembak-tembak itu lho." -haruto

"Oh, jadi itu penjajahan ya, Ayah?"

"Bukan, salah itu ayahmu. Penjajahan itu zaman perang, atau waktu penjajahan itu, kita di tembak semua." -wonyoung

"Hah? Benar ya, Tante?"

"Nggak beda jauh, anjir.." -haruto

"Bener. Kalau di tembak, wush. Mati lho." -jeongwoo

"Jadi, mereka ini matinya di tembak ya, Om?"

Jeongwoo mengangguk. Ya, Erika dengan nama panjangnya yaitu Erika Sarah Biantara itu lucu di mata Jeongwoo. Maklum, dia belum punya anak. Padahal sudah menikah.

Tahun ini adalah tahun mereka yang kesekian kalinya membesuk makam yang di cari selama ini. Selepas lulus SMA, mereka mencari sumber-sumber tertentu untuk bisa menemukan makamnya.

Dan perjuangan mereka tidak sia-sia dan berhasil. Bahkan setiap tahun mereka datang. Bahkan setelah mereka menikah, seperti sekarang.

"Kalian yang tenang di sana ya. Maaf, kita cuma ketemu jalur mimpi, tapi kalian begitu berarti."

Setelah menaburkan bunga dan menyirami nisan itu, mereka pamit pergi.

"Sepulang dari sini, kita nongkrong bareng yuk. Lama banget udah nggak pernah nongkrong bertiga." -jeongwoo

"Emang bini lo nggak marah?" -haruto

"Enggaklah. Istri tercintaku paling lagi rebahan di rumah." -jeongwoo

"Lo sendiri, Won? Gimana?" -haruto

"Ayo aja sih gue mah. Lagian mas suami juga lagi di luar negeri buat kerja." -wonyoung

"Nggak apa-apa? Ntar curiga lagi, berantem lagi." -jeongwoo

"Nggak bakal. Kan dia udah tau kalian berdua, ya nggak masalah. Yang bermasalah itu kalau gue jalan sama cowok lain." -wonyoung

"AYAH! MAMA NELPON! AYAH!!!"

Erika memberikan ponsel pada Haruto. Jeongwoo terkekeh, Wonyoung juga begitu. Karena mereka tahu, istrinya terlalu bucin.

"Kangen mas suami anjir." gumam Wonyoung setelah melihat momentum suami lagi telepon sama istrinya.

"Kasian, di tinggal kerja, haha! Makanya, cari suami jangan yang sibukan."

"Apa sih ya, lo juga. Bukannya kerja malah nongki nongki nggak jelas."

"Gini-gini gue pemegang perusahaan lho ya! Suka-suka pangeran mau masuk kerja apa enggak."

"Seterah kau lah, nggak peduli gue. Ayo, gue mau cabut. Pasti anak-anak pada nangis di titipin di rumah Jihan."

Wonyoung segera menyimpan barang-barangnya di mobil Haruto sejenak.

"Rasanya punya anak gimana sih?"

"Kok nanya? Oh iya. Kan nggak punya anak, ha ha ha ha! WADUH!"

Jeongwoo mengangkat tongkat yang ada di dekatnya, berniat memukulkannya pada Wonyoung yang langsung bersembunyi di dalam mobil Haruto.

"MENTANG-MENTANG GUE MASIH NGGAK PUNYA ANAK YA!" teriaknya dari luar mobil. Wonyoung hanya mengejek, layaknya anak kecil.

"AYAH! OM JEONGWOO MARAH!"

"Biarin aja. Nanti juga reda sendiri. Sini masuk mobil kitanya, Mama udah nungguin di rumah."

"HORE!! BELIIN MAMA KUE YUK, YAH! MAMA KAN SUKA KUE LEMON!"

"Ayo. Biar Mama nggak ngambek."

Dan akhirnya, kini Jeongwoo duduk dengan tenang setelah di sogok Wonyoung tentang perasaan dia pertama kali punya anak dan mengurus anak.

"Makasih udah nganterin ya! Gue balik dulu."

"Bye, Woo! Gue juga cabut ya, To. Udah di tungguin."

"Iya-iya, hati-hati kalian berdua. Nih, kue buat ponakan kesayangan yang lagi nunggu. Bilangin nanti lain kali liburan bareng."

"Siap, Kapten. Hati-hati di jalan juga, bro."

Haruto mengacungkan jempol dan berlalu pergi dengan mobilnya. Wonyoung menatapnya dari kejauhan, dan menatap langit yang kini sudah cukup gelap dengan sinar mentari yang tenggelam.

"Haaah.. semoga mereka semua tenang di sana, dan perjuangan mereka tidak sia-sia."

Saat membuka matanya, dia sekilas menatap cahaya-cahaya yang ada di hadapannya kini. Entah itu mimpi atau bukan,

Dia bisa melihat arwah Hendra, Gurnito, Cornelia, Margaretha, Vincent, Raden dan Pratama di hadapannya tengah tersenyum.

Wonyoung memberikan kehormatan pada mereka, sebelum akhirnya menghilang untuk selama-lamanya. Dan kini, batinnya telah tenang dan ikhlas untuk melepaskan mereka agar terbang tinggi ke tempat yang di impikan.

"Sampai jumpa."



















































-Tamat-
(Sungguhan)

Verleden [Revisi]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang