/48 - END/

2.3K 124 14
                                    

Libur panjang telah berakhir. Sudah waktunya murid-murid disekolah kembali melakukan aktifitas seperti biasa- belajar dan praktek. Tapi itu untuk yang baru naik kelas. Untuk yang sudah akan lulus, diwajibkan untuk mengurus berkas tanda kelulusan.

Dan seharusnya Bright sudah disekolah saat ini, mengurus berkasnya sendiri. Tapi lelaki itu justru hanya berdiam dikamar- tidak ingin makan, tidak ingin bicara dan hanya menghayal, merenung sesuatu dekat jendelanya.

Tatapannya memang kosong, tapi pikirannya selalu ramai dengan segala kemungkinan-kemungkinan. Ia memikirkan Win, bertanya-tanya dimana keberadaan laki-laki itu. Mengapa laki-laki itu meninggalkannya? Kalau memang harus pergi, mengapa tidak ada ucapan perpisahan? Setidaknya ia harus tahu kemana tujuan laki-laki itu. Setidaknya itu dapat meringankan beban pikirannya.

Ini sudah yang ketiga kalinya ia terjebak dalam rasa sakit yang mendalam- ditinggalkan oleh orang tersayang, adalah hal yang paling ia benci.

Tiba-tiba ponselnya berdering, menandakan seseorang sedang menelponnya. Dengan cepat ia menyambar ponsel yang terletak di kasurnya, melihat nama siapa yang tertera dilayar. Oh, itu Racha.

Bright mendengus kasar. Bukan Racha yang ia harapkan. Ia mengharapkan Win yang menelponnya.

"Aku tidak akan pergi kemanapun." sebelum disapa, ia sudah terang-terangan lebih dulu.

"Bright, ini sudah satu bulan lebih, sampai kapan kau akan terus mengunci diri dikamar?"

"Sampai Win kembali."

"Hhhh.." helaan napas lelah terdengar dari seberang, "dia takkan pernah kembali lagi, Bright. Berhentilah berharap."

"Apa maksudmu?! Jangan bicara omong kosong seperti itu! Kau tidak tahu apa-apa tentangnya! Ia pasti akan kembali untukku!" Bright menahan geramnya. Persetan dengan status gadis itu sebagai sahabatnya, kalau gadis itu salah, maka ia perlu diceramahi.

"Aku tidak bicara omong kosong, aku bicara sesuai fakta."

"Hahaha lucu sekali. Bicara fakta katamu? Memangnya kau ada bukti?"

"Ya, aku ada, bukti peninggalan Win."

"Trik apalagi yang kau mainkan ini? Aku tidak akan terpancing. Aku akan tetap dikamar sampai ia kembali dan memohon sendiri padaku." sebenarnya ia sedikit berharap kali ini Racha tidak menipunya lagi hanya demi ia bisa keluar dan tidak terus-menerus mengurung diri karena merasa sedih.

Tapi Racha memang tidak menipunya.

"Win meninggalkan surat untukmu. Aku baru mengetahuinya dari Love tadi siang. Ternyata selama ini Win sudah menyimpan surat itu dalam bukunya di loker. Kali ini aku berkata yang sebenarnya. Jadi datanglah kesini dan lihat sendiri surat itu. Aku tutup ya." telpon dimatikan sepihak. Bright terdiam beberapa saat. Batinnya kembali beradu, bertanya-tanya apakah benar kali ini Racha berkata jujur? Tapi jika tidak, suara gadis itu terdengar meyakinkan untuk mencoba menipunya.

Bright mengacak rambutnya frustasi. Sebaiknya ia segera bergegas. Perkara Racha yang benar-benar jujur atau tidak, itu urusan belakangan. Ia sudah terlanjur penasaran soal surat yang dibilang gadis itu.












































"Racha!"

"Bright? Sini!"

Lelaki itu segera mendekat setelah namanya disebut, lalu duduk disamping gadis itu setelah sampai.

"Mana suratnya?" tanyanya tak sabaran, tangannya sudah mengadah ke wajah Racha.

"Kau baru saja sampai, pesan minuman dulu."

Nineteen • [Bright×Win]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang