10

8K 436 38
                                    

Author POV

[***]

Ini bukan kali pertama bagi Rubina untuk kencan buta. Selama beberapa bulan setelah Ia pulang dari Finlandia, hampir setiap minggunya Ia bertemu beberapa orang lelaki untuk kencan buta. Baik itu dari hasil rekomendasi orang tuanya, pengaturan dari teman-temannya atau malah orang yang sengaja datang menghubunginya melalui sosial medianya.

Rubina sudah akan berumur 30 tahun ini dan saat ini Ia sudah sangat kepepet ingin menikah. Umurnya semakin tua, dia harus segera menikah sebelum kadaluarsa, pikirnya.

Belum lagi, orang tuanya saat ini sudah tua dan tak seenergik dulu lagi. Ayahnya menderita penyakit gula yang bisa saja menrenggut nyawanya kapan saja. Ia talk mau nanti menikah tanpa dimapingi oleh kedua orang taunya. Apalagi, jika nanti ayahnya meninggal, siapa yang akan membiayai pernikahan nya.

Menikah bukan perkara mudah dan sederhana. Ada banyak pertimbangan untuk memulai sebuah hubungan itu. dari banyak-banyak orang yang telah ditemui Rubina, tidak satupun yang sesuai dengan seleranya.

Ada yang tampan, namun penghasilannya pas-pasan. Rubina tentu tak mau jika gaji suaminya lebih rendah dari gajinya.

Saat Ia baru lulus kuliah dulu, cukup banyak orang yang datang melamarnya. Salah satunya adalah dokter di tempat Ia magang sebagai perawat dulu. Namun, saat itu Rubina dengan angkuhnya menolaknya. Ia ingin menjadi wanita karir yang sukses. Belum lagi, setelahnya Ia lulus kerja di Finlandia. Semakin membuatnya diatas awan. Tak pernah terpikir olehnya tentang pernikahan.

"Mau kemana, Rubina?" tanya Marwa—ayah Rubina—saat Rubina keluar dari kamarnya dengan pakaian rapi, lengkap dengan wangi-wangian dan make-up yang cantik.

"Ketemu teman, Yah." Jawab Rubina sambil memasang high heel di kakinya.

"Itu, harus banget malam-malam begini? Jam berapa mau pulang?!" tanya Marwan lagi dengan nada kentara tak suka. Ia menatap anak gadisnya penuh selidik.

Rubina berdecak kecil, "Ayah terlalu cerewet. Ini urusan anak muda." Kata Rubina sedikit sebal karena teguran ayahnya.

Ia merasa sudah sangat dewasa untuk bisa pergi kemana saja tanpa perlu dikhawatirkan jam pulangnya. Belum lagi Ia telah lama tinggal diluar negeri yang tentu tak mengenal jam malam.

"Jangan macam-macam diluar."

"Sudah. Aku mau pergi." Rubina mengabaikan perkataan Marwan dan langsung keluar dari rumah setelah mengambil kunci mobil di gantungan.

Marwan yang duduk disofa hanya bisa menggeleng kepala kecil melihat tingkah anaknya yang semakin hari semakin seenaknya sendiri.

Rubina menggerutu kecil dengan wajah masam saat keluar dari rumah. Ayahnya terlalu protektif untuk hal-hal yang menurutnya tak penting.

Sebelum benar-benar pergi, Rubina ke mini market ibunya dan bertemu wanita tua yang telah melahirkannya ke dunia itu sedang mengatur barang di toko.

"Bu, aku ambil uang ya." Katanya masuk ke area kasir kemudian membuka laci dan merongoh uang tunai sebanyak satu juta dari sana.

"Mau kamu malam-malam begini?" tanya Fatma—Ibu Rubina— dengan wajah heran dan juga sangsi saat bersama.

"Bawel, ah! Aku keluar, mau ketemu teman." Sahutnya terdengar sedikit kasar. Belum sempat Fatma menegurnya lagi, Rubina langsung keluar dari toko cepat-cepat dan masuk ke dalam mobil.

"Astaghfirullah!"

Sejak kecil, Rubina sudah memang terbiasa seperti itu. Berbicara seenak jidatnya dan tak suka diatur oleh orang tuanya. Sebabnya karena mereka terlalu memanjakan Rubina yang hanya anak tunggal. Keduanya berpikir, setelah dewasa sang anak akan berubah. Namun, itu hanya pikiran keduanya saja yang tak akan pernah terwujudkan.

[***]

"Rubina, benar?" tiba-tiba seorang lelaki menghampiri tempatnya duduk dan bertanya dengan penuh selidik.

Mendengar itu, Rubina lantas langsung bangun dari kursinya dan menyambut orang itu dengan secarik senyum lebar. "Iya, benar. Saya Rubina."

Lelaki itu membalas senyum Rubina tak kalah lebarnya.

"Salam kenal. Saya Galih." Lelaki itu mengulurkan tangannya dan Rubina menerima jabatan tangan itu dengan sedikit malu-malu.

Ini diluar ekspetasinya.

Sebelumnya, Rubina telah diberi tahu oleh Fanya, orang yang mengatur kencan buta ini untuknya bahwa lelaki yang akan menemuinya nanti berumur sekitar 35 tahun. Namun, saat ini dihadapan nya lelaki yang berusia matang itu tidak sama sekali tampak seperti demikian. Lelaki itu tampak seperti pria muda berumur 25 tahunan. Masih segar, kinyis-kinyis dan energik.

Wajahnya tampan dengan pipi tirus dan rahang yang tegas. Rambutnya dipotong dan tertata rapi, tubuhnya tinggi dan juga ramping terawat. Kulitnya kuning langsat bersih. Rubina takjub melihat perawakan lelaki itu.

Tanpa tahu pekerjaannya saja, Rubina sudah bisa menebak setebal apa isi dompetnya.

Aroma parfum mahal terhidu hidungnya, jas dan setelan mewah tak luput dari pandangan matanya.

"Sudah lama menunggu?" tanya lelaki itu kemudian.

Rubina menggeleng kecil. "Baru saja sampai kok." Jawabnya berbohong.

Ia sudah sampai dari setengah jam yang lalu. Agaknya jika menunggu hingga satu jam pun Rubina tidak akan keberatan.

"Kita pesan makanan dulu, bagaimana?" Galih bertanya dengan lembut sambil memandangnya tepat di mata. Seakan ingin berinteraksi erat dengannya.

"Boleh."

Galih langsung memanggil pelayan untuk meminta buku menu. Dengan tenang Ia memilih makanan untuk dirinya sendiri, kemudian menyerahkan buku menu tersebut untuk Rubina agar ikut memilih makanan.

"Saya mau ini dan ini." Rubina menunjuk pada Fried Calamari dan juga Honey Lemon Tea. Ia sengaja memilih makanan yang sedikit ringan untuk santapan malam ini.

"Kamu suka Fried Calamari?" Makanan ringan yang terbuat dari cumi-cumi yang digoreng menggunakan tepung dan disajikan dengan saus marinara yang pedas.

Rubina mengangguk denga mata sedikit berbinar, "Cumi-cumi adalah makanan favorit saya."

"Oh, begitukah? Bagaimana dengan makanan laut lainnya, apa yang kamu suka?" tanya Galih membuka obrolan.

"Kecuali ikan." Jawab Rubina.

"Wah, sama. saya juga tidak suka ikan."

"Ada restoran seafood enak yang saya tahu, mungkin kita bisa ke sana bersama di masa depan." seloroh Rubina membuat Galih mengangguk kecil dengan wajah malu-malu.

Itu pertanda baik, bukan?

Keduanya larut dalam percakapan tentang hal-hal yang mereka sukai dan saling melempar candaan yang membuat Galih dan Rubina terlihat banyak tawa malam itu.

Galih tak bisa menampik bahwa Rubina adalah teman bicara yang menyenangkan untuknya. Belum lagi senyum manis dengan gigi rapi berjejer itu menghipnotisnya begitu dalam. Itu sekali lagi jatuh dalam pesona wanita itu. dari dekat, Rubina jauh lebih cantik dan mempesona dari pertama kali Ia lihat.

"Setelah ini, apa saya punya kesempatan untuk menemui mu lagi?" tanya Galih saat keduanya beranjak keluar dari hotel.

Pipi Rubina merona bak langit senja yang sebentar lagi menyambut malam. Itu tampak cantik saat perempuan itu tersenyum malu-malu.

"Tentu."

[**] 

Istri Untuk Pak Bos ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang