Galih POV
Setelah berpikir sekonyol itu, baru aku menyadari betapa egoisnya aku terhadap hidup Savanna. Semua berawal dari aku memang. Hm.
Saat awal Savanna magang, aku tertarik dengan keuletan kerjanya. Maka tepat setelah Ia lulus, aku langsung menariknya kembali ke perusahaan dan bagusnya Ia menerima pinangan ku untuk menjadi sekretaris pribadi saat itu.
Aku mulai mengikat dia dengan kontrak kerja yang tidak masuk akal. Hanya aku yang bisa membuatnya keluar dari perusahaan dalam artian Ia tak punya wewenang untuk resign sesuka hati atau dia akan didenda dengan jumlah uang yang tak masuk akal.
Savanna tipe yang mandiri, telaten, pekerja keras dan fast learners. Ini kenapa aku tidak ragu saat mempekerjakan dia sebagai sekretarisku. Aku percaya bahwa kecocokan antara bos dan sekretaris itu harus pupuk. Kami saling menyesuaikan diri selama lima tahun ini. Aku merasa cukup nyaman.
Tapi, perkataan Megat beberapa saat lalu menggangguku. Aku sepertinya terlalu mengabaikan perasaan Savanna, bahkan selain kebutuhan akan uang, aku tak tahu apa-apa yang Nona Sekretrisku itu butuhkan.
Selama lima tahun bersama, aku bahkan tak pernah tahu satupun teman mainnya. Hanya sebatas keluarganya yang aku kenal, itu pun karena aku sering mampir ke rumah mereka untuk menjemput Savanna di saat diperlukan.
Megat benar. Tidak seharusnya aku mendatangi Savanna saat hari libur begini. Seharusnya, aku membiarkan dia untuk istirahat dan melakukan apapun yang Ia mau. Menggantikan seluruh waktu yang Ia habiskan bersama ku di weekday. Tapi karena sekali lagi aku egois, aku bahkan membeli waktunya. Hanya karena aku tahu bahwa Savanna akan melakukan apapun jika dia dibayar.
Lelucon yang membuat ku tak habis pikir dengan diriku sendiri adalah bahkan aku mengkhawatirkan diriku sendiri setelah nanti Savanna resign. Aku takut tak mendapatkan kenyamanan yang sama seperti saat Savanna menjadi sekretrisku. Takut orang itu menyebalkan, tak mendekati seper-empat Savanna dalam bekerja. Konyol bukan? Aku hanya memikirkan diri sendiri.
Selain uang dan hadiah suka relaku, aku tak pernah benar-benar memberi Savanna sesuatu sepertinya.
Lamunanku buyar tak kala Savanna muncul di hadapanku sudah rapi dengan setelan santainya dan juga kerudung berwarna hijau lumut di kepalanya.
"Ayo!" ajaknya ceria. Seakan tak ada beban sama sekali. Aku mencoba membaca air wajahnya, namun aku benar-benar hanya menemukan kecerian di sana. Apa mataku sudah buram hingga mungkin Savanna tak ikhlas bepergian denganku hari ini namun aku tak menyadarinya. Ada emosi yang tak mampu aku baca. Benarkah begitu?
Aku langsung menyusul Savanna ke mobil dan duduk di co-pilot sedang Savanna mengambil alih mengemudi tanpa ku pinta.
Melihatnya tak protes saat ku minta mengemudi, aku sekarang baru merasa bahwa Savanna begitu kuat saat bersamaku dan betapa brengseknya sikap bossy yang ku miliki. Padahal aku memiliki supir, tapi tetap saja Savanna yang ku minta untuk mengemudi.
"Savanna?" panggilku.
"Uuhmm..?"
"Setelah resign, apa yang ingin kamu lakukan?" Bibirnya tersungging kecil dan dengan mata bertabur bintang Ia menjawab dengan riang.
"Tentu menikah. Apa lagi?" jawabnya diikuti dengan suara tawa renyah seakan dia sedang bercanda dengan ku.
Tapi aku tak bisa menganggap itu sebagai candaan hingga tak mampu membalas tawanya.
"M-menikah?"
"Iyaa.." jawabnya kini dengan nada serius, senyum di bibirnya tak kunjung lepas. "Bapak menikah, saya juga akan menikah. Biar kita satu sama." balasnya enteng, tanpa beban sma sekali.
KAMU SEDANG MEMBACA
Istri Untuk Pak Bos ✔
Chick-LitGalih Bramantio dipaksa menikah dalam waktu tiga bulan. Sedang diumurnya yang tak lagi muda itu, tak ada satupun wanita yang terjerat asmara dengannya. Rubina, wanita yang membuatnya tertarik saat pandangan pertama. Nabila, penyanyi wanita sukses...