21 - Masa Yang Sulit

862 132 120
                                    

Tunggu! Vote, komen jangan lupa!


Lelaki dengan badan ideal di umurnya yang sekarang, dengan kulit sawo matang, hidung mancung, juga rambut yang sedikit pirang. Dia Azka. Gaya nya yang modis seperti anak zaman sekarang, dan sifatnya terbuka membuatnya di segani banyak orang.

"Azka pulang." Ujarnya. Setelah mematikan motor, melepas semua aksesoris yang dia pakai untuk berpergian, Azka masuk ke dalam rumahnya, rumah megah yang menjadi tempat tinggalnya.

"Kebiasaan kamu. Udah jam berapa ini?"

Azka memutar bola matanya malas. Padahal baru sore hari, tapi orang yang dipanggil Papa olehnya itu sudah mengomentari.

"Baru jam segini, Pa. Biasanya juga lebih dari ini." Jawabnya.

Kakinya melangkah meninggalkan ruangan tempat mereka berkumpul itu. Tapi langkahnya terhenti saat suara Papanya terdengar lagi.
"Nanti malem jangan keluar. Awas kamu."

"Iya, iya."

•••••

Kembali ke asal, di mana kehidupan terus berjalan, tapi tak ada rasa nyaman di sekitar. Rasanya, untuk membuka mata di setiap harinya berat sekali. Menjalani hari di mana dipaksa untuk menerima kenyataan pahit yang terjadi, menerima kenyataan dengan senyuman yang harus di jalani.

"Bun, nanti siang aku izin ke rumah Tante Sania, ya."

"Boleh. Bunda ikut kalo gitu. Bunda mau tanya ke Om Raka kapan Al bisa pulang. Udah gak sabar ketemu dia. Mau nyusul ke sana tapi gak di bolehin Ayah kamu, Kak."

Tatapan Tammy menyendu. Sudah tiga bulan setelah kejadian, keadaan Inne justru semakin parah. Dia benar-benar hilang akal karna kehilangan Al, anaknya.

"Iya. Nanti siang ke sana ya, Bun."
Tak ada yang bisa dilakukan Tammy selain mengiyakan imajinasi Bunda nya yang terbilang sudah melebihi normal. Padahal, hingga sekarang Al belum di temukan. Entah di mana dia, bagaimana keadaannya, semua orang tidak tau.

Inne selalu bilang, Al sedang berobat ke negara luar. Kenyataan yang pahit yang membuatnya seperti ini. Inne tak bisa menerima takdir, dan berakhir Depresi dengan halusinasi yang berlebihan.

"Nanti biar Tammy yang izin ke Ayah ya, Bun?" Inne mengangguk bersamaan dengan senyumnya yang merekah membuat Tammy melebarkan senyumannya juga.

•••••

"Raka. Boleh minta tolong? Tolong sekarang hubungi Al, Ka. Tanya keadaannya. Gua mau tanya dia bisa pulang ke sini laginya itu kapan. Gua selalu hubungin nomor pak Reno tapi gak pernah ada jawaban. Al nggak ada kabar, gua kangen sama Al, Ka."

Air matanya menetes, dan itu membuat Raka semakin tak tega pada sahabatnya. Tiga bulan sudah ini semua berlalu, tak jarang Raka berkunjung di kediaman Inne untuk menemani, melihat kondisi sahabatnya. Meskipun, selalu ada saja pertengkaran ujungnya. Ananda selalu mencari masalah, dan Raka yang juga tak mau mengalah.

"Iya. Abis ini gua hubungin Reno, ya? Lu tenang aja. Al pasti baik-baik aja di sana."

Di sofa sebelah kiri ada Tammy yang diam-diam menangis dengan Sania yang menenangkan. Saat sampai tadi, Inne langsung menghampiri Raka dengan tidak sabarnya, dan Tammy yang melihat hanya bisa diam tak mencegah.

Tiga bulan waktu yang cukup lama, tapi Tammy tetap tak bisa menerima jika Bunda nya jadi seperti ini, sangat terpukul saat Adiknya pergi tak tau ke mana. Tapi, demi Bundanya, Tammy harus kuat, meski cobaannya ini terlalu banyak. Siapa lagi yang selalu menemani setiap saat kecuali dirinya?

Love Me, Please! Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang