34 - All Will Be Okay

777 71 33
                                    

Haloooo, vote komen yaaa..!

"Dia lolos lagi, Ma. Pihak kepolisian kehilangan jejak dia, lagi, dan lagi."

"Apa untungnya dia balik lagi ke Ananda? Nggak ada, kan? Tetap aja Rico masih bisa macam-macam. Ananda juga mana peduli tentang Al?! Buat apa coba, buat apa."

"Sabar, Pa. Kita bicarain ini sama-sama. Setelah Inne sampai ke sini, kita bicarain, ya?"

"Siapa yang akan jagain Al? Tammy sekolah, Ma. Dia masih banyak ujian, dan sibuk untuk ikut SNMPTN, dan SBMPTN. Kita enggak mungkin ninggalin dia sendirian, dan nggak mungkin kita bicaranya di depan Al, itu terlalu beresiko mengenai kesehatan mentalnya."

"Aku enggak percaya siapapun kecuali kita-kita yang jaga Al. Mau enggak mau, kita bicaranya sampai Tammy free, atau tengah malam kita bicarakan."

"Ya, ya, ya. Itu benar. Entahlah, aku pusing. Semua ini terjadi karna Ananda juga, Mas. Dia benar-benar buat aku eneg, sumpah."

•••••

"Kamu enggak bisa begitu, Mas. Secara nggak langsung kamu membuat identitas Al menjadi bukan lagi anggota keluarga kita, anak kita. Aku nggak terima. Dia anakku, anak yang aku besarkan, anak yang aku sayangi."

"Segera batalkan penghapusan namanya dari kartu keluarga. Kalo enggak--"

"Aku mau kita cerai, Mas!"

"Kamu ini murahan atau bagaimana?" Mata Ananda melirik remeh. Sindirannya masuk tepat pada hati istri nya yang mendengarkan.

"Ck. Murahan?"

"Aku nggak peduli mau dibilang apapun sama kamu. Ibu mana yang setuju anaknya diperlakukan kayak gini, Mas?"

"Hei. Nggak ada cara lagi selain ini. Lantas kamu mau apa kecuali dengan tindakan ini?! Kelakuannya udah di luar batas, Inne!" Inne bersitatap dengan Ananda. Dia tak suka Ananda mengucapkan itu.

"Kamu pikir, yang membuat Al seperti itu karna apa?! Karna kamu, Mas. Dia nggak nyaman ada di rumah ini, karna kamu."

"Dari dulu, niatku memang untuk membuatnya tidak nyaman." Jawab Ananda. Tangannya masih sibuk mengetik, mata yang fokus pada pekerjannya kali ini.

"Dasar iblis!"

"Kamu nggak mengakui Al, dan sekarang kamu mengeluarkannya dari kartu keluarga. Iblis kamu, Mas. Iblis!"

"Kamu pikir aku dari dulu nggak tersiksa?! Setiap semua berkas-berkas yang di perlukan, kamu selalu memakai yang palsu, dan menyembunyikan yang asli melalui kekuasaan yang kamu punya. Bahkan untuk anakku mendaftar sekolah aja, itu memakai semua berkas yang nggak ada namaku, namamu di sana. Kamu memalsukan hal yang nggak seharusnya, Mas. Aku tau kamu berkuasa, tapi tolong jangan seperti ini lagi, jangan mengulangi hal-hal itu lagi."

"Ya, ya. Aku senang saat kamu akhirnya mengakui bahwa Al darah daging kamu. Tapi setelah itu? Bahkan kamu melupakan fakta itu. Lagi-lagi kamu bertindak kalo dia bukan anak kamu, Mas. Dan sekarang? Kamu melakukan itu? Bener-bener jahat."

"Denger, denger aku. Aku akan bocorkan tentang ini ke media, kalo kamu masih mau membuang identitas Al. Ngerti?!"

Meninggalkan, itu yang Inne lakukan setelah muak dengan lawan.

•••••

Malam. Waktu menyusun aksara keheningan. Silir-silir merambai daun-daun rerantingan. Menatap terangnya awan diantara ribuan bintang. dagunya ia sandarkan pada tangan yang menyilang. Al duduk pada ranjang pesakitan dengan menghadap pada langit malam. Wajahnya masih pucat, rona bibirnya apalagi. Al menikmati rasa sakit yang bergulir, mengantri. Rasa apapun sudah dia jalani. Namun, ucaplah kali ini Al lebih bersyukur, maka dari itu sakitnya seperti tak berarti. Takdirnya masih memihaknya, alur hidupnya sedikit terperbaiki atas selamat-nya dia dari maut yang mengancamnya.

Love Me, Please! Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang