"Tenang. Lolos lagi gua, Kak."
"Kak Vi.." Panggil Al.
"Gua nggak mau lu kena omel lagi, Al. Keluarga lu pasti ngira lu temenan sama orang yang nggak baik. Ya kalo ngejelekin gua mah bodoamat si, tapi nanti malah jadi nyusahin lu." Hurvi menatap lawan bicaranya. Senang jika Al kembali, tapi khawatir akan keselamatan Al nanti.
"Peduli apa sama omongan mereka? Biarin aja."
"Ayo, pulang sekarang. Gua temenin lu sampai depan rumah." Al menggeleng, melepas hoodie kuningnya yang basah akan keringat.
Hari sudah malam. Tadi, Al nekat pergi diam-diam di pukul sepuluh malam, dan berniat akan kembali kerumah besok di saat orang-orang belum bangun dari mimpi yang menghanyutkan.
Dua hari Al tak diizinkan kemanapun bahkan untuk menghirup udara ke halaman depan. Alasannya sudah pasti karna kejadian dimana dia pergi diam-diam. Sungguh, selalu berada di kamar membuatnya pengap, dan terasa sesak.
Berkali-kali dia mendapat ceramah tentang Rico yang belum ada kabarnya. Bundanya, selalu mengatakan tentang itu, dan menyuruhnya tak ke mana-mana.
"Terus gimana, Bang? Kita nggak mungkin pindah gitu aja dari sini. Mau tinggal di mana lagi?" Hurvi menghela nafas. Sedari kemarin, ponselnya ditelponi pemilik kos karna tunggakan yang sudah menumpuk lima bulan.
"Beliau kasih waktu seminggu. Setelah itu, ya mau nggak mau kita pergi dari sini."
"Besok gua cari kerja deh."
"Gua juga bakal ngusahain. InsyaAllah bisa."
"Ngomongin apa?" Al yang keluar dari kamar mandi itu langsung duduk di antara mereka. Pembicaraan serius tengah mereka bahas.
"Gua ikut kerja juga boleh? Kan, gua juga udah jadi adik-adik kalian." Al tersenyum lebar. Tatapan disampingnya adalah Andes yang melihati dengan keheranan.
"Sejak kapan? Nggak, nggak, nggak. Benerin genteng dulu kalo mau jadi adik gua. Itu bolong sedikit."
"Lohhh.."
"Genteng nya diapain sama Kak Andes? Digigitin, ya?"
"Sialan kau." Keduanya menatap yang paling tua dengan lekat.
Ada yang salah dengan Hurvi hari ini? Pemuda itu tertawa terbahak-bahak, memasuki kamar mandi dengan tawa yang menggema sampai luar.
"Nggak biasanya. Jangan-jangan kemasukkan arwah nenek-nenek di pohon depan."
"Emang ada?"
"Ya...
"Engga si."
•••••
"Ini namanya pasar pagi. Biasanya yang ke pasar jam segini, orang-orang yang punya rumah makan, atau penjual sayur keliling gitu. Soalnya lebih murah."
"Kak Vi sering kesini, ya?" Tanya Al. Di pukul setengah tiga pagi ini, mereka bertiga berjalan dari tempat kos kepasar. Niatnya, setelah ini adalah mengantar Al untuk pulang.
"Hmmm, bisa dibilang begitu. Lumayan juga kalo terima jasa. Biasanya ada orang yang minta tolong bawain belanjaannya gitu, abis itu di kasih upah. Ya, orang-orang kayak gua mah merasa diuntungin banget, Al."
"Kak Vi keren. Salut."
"Gua enggak dibilang keren?" Andes menyahut. Andes berjalan seperti niat tak niat. Mata sayu menahan kantuk membuatnya kadang tak memperhatikan jalan, berakhir menabrak orang. Atau, seperti tadi, menabrak tiang listrik yang berdiri kokoh di pinggir jalan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Love Me, Please!
Fiksi PenggemarKisah penuh drama yang ada dalam cerita ini, kisah Sad ending yang selalu ada di setiap harinya. Tokoh seperti-nya yang haus akan kasih sayang, akan membuat kalian tau bagaimana rasanya tak di sayang, rasa yang selalu menyesakkan. "Dengar? Sudah ber...