33 - Racun

1K 92 49
                                    

Typo nya tolong di koreksi ya. Jangan lupa vote, komen.

Happy Reading!


Hal yang menyakitkan adalah ketika melihat darah daging sendiri jatuh sakit. Inne selalu merasa gagal ketika melihat anak tak berdaya berada di ranjang pesakitan, menunggu pengobatan.

Al, kini menyerah dari kata sehat. Berkali-kali berusaha kuat, namun nyatanya tubuhnya tak sehebat mentalnya yang kuat walau disakiti ribuan kali. Tubuhnya kalah, melawan penyakit yang sedang marah. Seperti berkata. "Penyakit ini akan membunuhmu."

Sebagai Ibu dia hanya bisa terisak melihat alat-alat medis dipasang untuk anaknya. Bahkan, untuk sekedar bernafas gratis sepertinya, anaknya tak bisa. Inne tak mempermalasalahkan berapapun nominalnya, hanya ia ingin anaknya bisa selamanya hidup dengan oksigen yang di berikan Tuhan. Bolehkan mengeluh?

"Pasien hanya perlu di doakan agar selamat. Mohon maaf, kami sebagai tim medis mengatakan jika kondisi ini jauh dari kata baik. Tidak ada yang bisa kami lakukan selain meminta keluarga untuk selalu mendoakan."

"Nggak!" Inne menggeleng brutal. Menghela nafas mencoba kembali pada kesadaran. Lamunan tadi, berhasil memasukinya pada hal yang tak baik.

Satu jam lebih sudah terbuang, namun Inne belum juga tau bagaimana kondisi putranya. Cemas semakin melanda, terbayang saat terakhir putranya sesak nafas saat dia kembali ke kamar membawa makanan. Dua hari demam, menyebabkan anak itu di kamar, dan ditemaninya.

"Maaf bu Inne, bisa kita bicara?" Inne mengangguk ragu. Ia takut. Dari wajah si dokter, menandakan jika putranya memang tak baik-baik saja.

Benar-benar, Inne seperti diruntuhkan batu besar yang menghancurkan dirinya. Fakta tak selalu indah, fakta juga tak selamanya buruk. Tapi di kali ini, mengetahui fakta malah membuatnya ingin tutup telinga. Sakit sekali mendengarnya.

Dugaan sang dokter memang belum sepenuhnya benar, tapi tetap saja. Dokter berkata karna adanya hasil pemeriksaan di semua tindakan. Lantas, apakah jika seperti ini Inne bisa tetap tenang?

"Bunda butuh kata-kata penenang dari kamu."

"Ayo bangun, Nak." Air matanya mengalir ketika dia angkat tangan anaknya, dan menimpa tangannya. Menepuk-nepuk seolah itu Al yang mengerjakannya.

"Walaupun rasanya udah sering. Tapi Bunda enggak pernah terbiasa sama ini, Nak. B-bbunda selalu nggak siap ngeliat kamu yang tiba-tiba drop, menurun gini keadaannya. Bunda bener-bener gagal karna nggak mampu melahirkan kamu dalam kondisi yang sempurna. Bunda nggak bisa itu. Bunda nggak bisa dalam banyak hal."

Disituasi begini, jadi rindu dengan dua sshabatnya. Kembalinya dia menjadi istri Ananda, membuat hubungan mereka renggang seketika. Raka menghubungi kala pembicaraan rujuk itu ramai di media, dan terjadi adu mulut dengan ketiganya. Hingga kini, suami-istri itu mengambil jarak hingga tak mengabari sekalipun. Sudah terlampau kecewa.

-

"Enggakpapa.. Al cuma butuh istirahat yang lebih banyak. Jangan nangis, Bunda sedih kalo Al nangis."

Inne tersenyum kaku. Bangkit, dan mencium kelopak mata anaknya yang masih mengeluarkan air mata. Sedih, itu pasti. Inne tau anaknya tengah dalam kondisi terburuknya. Bahkan, untuk sekedar berucap saja tak bisa. Al tak punya kekuatan untuk itu. Dia hanya bisa berkata melalui batin dan mimik wajahnya yang terbaca, seperti kini yang kesedihannya sangat kentara.

"Bunda di sini, dan nggak akan ke mana-mana. Kalaupun memang komplikasi itu beneran ada, Bunda akan tetap ada disamping kamu. Kita jalani ini sama-sama. Al harus berjuang lebih keras lagi."

Love Me, Please! Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang