30 - Berubah

555 89 72
                                    

Vote, komennya yuk...

Al tak tau kemana arah hidupnya setelah ini. Dikecewakan takdir, dikecewakan orang-orang sekitar rasanya, membuat hidupnya tak tau mau bergantung pada siapa. Hidup dengan banyak orang, tapi seperti sendiri. Al merasakan hidup menderita setelah satu bulan berada di rumah ini.

Ya memang, dia terbebas dari ancaman pria yang disebut 'Papa' olehnya. Hingga sekarang, pria itu bahkan tak menunjukkan batang hidungnya, entah kemana kaburnya. Tapi disini, Al justru merasakan penjara yang menjerat tubuhnya hingga kini.

Penjara yang asalnya sebenarnya dari dirinya sendiri, yang mengurung diri di kamar seminggu ini. Tak pernah keluar, apapun alasan yang mereka beri.

Tak ada yang ia salahkan dengan orangtuanya yang resmi rujuk kembali. Al hanya menyesali satu dari beberapa hal tentang mereka yang kembali lagi.

Dia tak dilibatkan, dan tak diberitahu. Entah apa yang menjadi alasan Bundanya merahasiakan ini, yang padahal dia setuju-setuju saja dengan kembalinya mereka secara agama, dan negara.

Hatinya begitu tersinggung ketika seminggu yang lalu mendapat kabar yang bahkan dari orang lain jika Bunda Ayahnya sudah resmi rujuk, dan tinggal sekamar.

Kilas Balik

"Seenggaknya anggap aku ada, Bun.. Dengan kalian begini, malah buat aku merasa bener-bener nggak di anggap, dan benalu di sini. Nggak ada yang bisa aku bilang lagi ke Bunda, dan kalian selain aku kecewa, aku tersinggung."

"Udah, ya? Selamat Bunda, juga, selamat Ayah, aku bahagia kalian sama-sama lagi.." Al tersenyum, mata sendunya sangat mewakili perasaanya. Sebelum berbalik, dia justru di runtuhkan lagi pada perkataan Ayah yang tak menyukainya.

"Untuk apa beritau ini semua ke kamu? Apa gunanya? Kebahagiaan ini hanya pantas diterima kami, bukan kamu yang hanya benalu di rumah ini, seperti yang kamu bilang tadi. Tolong tau diri."

"Mas..."

"Iya. Aku tau. Makasih, Ayah." Al berbalik, dan berjalan cepat dengan rasa kecewa, dan sakit hati yang mendalam.

"Sayang, dengerin Bunda dulu."

-

Al menghela nafas saat mengingat lagi kenangan buruk di hari itu. Yang mana, sejak hari itu dia tak keluar dari kamar, sedikitpun, untuk makan pun tidak.

Bahkan rasa lapar tergantikan oleh rasa kecewa yang amat dalam. Masa bodo dengan nasib perutnya yang belakangan ini diisi botol mineral, dan stok snack yang dimilikinya, yang hari ini sudah habis tak menyisa.

Bukan dia mencari perhatian, tapi. Sebelum menyembunyikan fakta yang besar apa tidak berfikir bahwa ada orang yang tersakiti sekarang?

"Sayang. Udah cukup, ya? Tolong keluar sekarang. Al belum makan, Bunda takut kenapa-napa Al nya."

"Hei udah. Jangan terus-terusan bujuk dia. Dia sendiri yang nggak mau. Dia yang mutusin buat nggak makan, Inne."

"Ya enggak bisa gitu, Mas. Semua ini karna aku yang waktu itu mutusin buat sembunyiin rujuknya kita. Aku penyebabnya."

Al menghela nafas, memukul kasur nya kesal. Untuk apa rujuk tapi selalu bertengkar seperti ini? Beberapa kali, walau dia berada di kamar, Al mendengar Ayah, dan Bundanya bertengkar, entah masalah apa. Memulai sesuatu yang menyakiti diri, apa untungnya?

Cukup lama mendengarkan, hingga rasanya Al muak dengan apa yang mereka bicarakan.

Cklekkk!

Al mematung di tempat. Seolah pas, posisinya kini di tengah-tengah mereka. Menghalau Ayahnya yang baru saja ingin main tangan pada Bundanya.

Love Me, Please! Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang