15 - Melepaskan Mahkota

940 121 116
                                    

"Jelaskan kenapa Al keadaan nya bisa kayak gini? Kak? Jelasin ke Bunda ada apa. Raka, Ada apa? Sania?" Inne baru saja keluar dari ruang ICU. Setelah, waktu besuk ke dalam sana sudah selesai ia keluar. Sebenarnya, tak ingin rasanya pergi walau hanya selangkah. Ia ingin selalu disamping putranya hingga nanti. Hingga nanti mata yang terpejam itu akan terbuka kembali.

"Bunda...?"

"No... Bunda cuma minta penjelasan. Kak, ada apa?" Inne menepis ketika tangan Tammy menyentuh tangannya. Saat ini, ia hanya ingin menanyakan Al. Ada apa dengan semuanya.

"Kenapa? Ini nggak ada yang punya mulut? Kenapa diam aja?!" Inne menatap satu persatu mereka semua. Tatapannya mengisyaratkan jika ia marah. Bukan pada siapapun, tapi pada keadaan.

Raka menghela nafas. Melirik Tammy yang hanya diam sedikit menunduk. Ia sendiri tak tau apa yang terjadi. Dan sebelumnya, Tammy juga berkata seperti itu.

"Inne, dengar..."

"Kita semua nggak tau kenapa ini bisa terjadi. Anak lu juga nggak tau. Dia temuin Al udah dalam keadaan nggak sadarin diri. Tammy langsung bawa Al ke rumah sakit ini, dibantu sama Pak Tomo. Kita semua bener-bener nggak tau dengan ini semua. Gua aja kaget banget kenapa bisa Al kayak gini--"

"--Tapi selama gua rawat Al yang koma. Gua melihat dada nya. Dadanya ada lebam yang membengkak. Seperti pukulan. Gua nggak tau itu bekas apa di dada nya Al. Tapi, ini udah pasti ada yang celakain Al. Murni di celakain, bukan kecelakaan. Kalaupun kecelakaan, nggak mungkin kayak gini lukanya. Seperti pas waktu itu, Ne. Pas luka di tangannya, yang terlihat bukan kayak luka nggak di sengaja melainkan luka yang di sengaja."

Inne mendengar semuanya. Pikirannya memang langsung tertuju pada orang-orang di rumah. Tanpa pikir panjang ia berlari. Meninggalkan semuanya.

"Inne!"

"Bunda!"

"Inne mau kemana?!" Raka berlari mengejar. Dia menarik tangan Inne ke tempat sepi. Terlalu bahaya berbicara di depan banyak orang seperti ini.

"Apa?!" Tanya Inne. Wajahnya memerah.

"Gua mau pulang. Pasti ada yang nggak beres di rumah. Ini semua nggak bisa di biarin. Nyawa anak gua terancam, Ka. Dia koma. Gua nggak bisa diam aja. Dia tanggung jawab gua. Gua nggak bisa diem lagi, ini udah kelewatan!" Ujar Inne. Wajahnya terlihat jika ia marah. Tatapan sendu, prustasi, dan marah bercampur di sana. Tapi air matanya, bahkan masih mengalir hingga kini.

Dia melangkah menjauh lagi sebelum Raka berbicara. Raka sempat memanggil sekali. Namun, seperti nya ia harus membiarkan. Biar ini menjadi urusan sahabatnya. Inne pasti bisa menangani nya.

"Bunda di mana?" Tanya Tammy. Dia menyusul Raka yang berada lumayan jauh dari ruang ICU.

"Bunda pulang. Biarin Bunda kamu urusin semuanya. Dia nggak bakalan bisa tenang kalo belum dapat jawabannya." Ujar Raka.

"Tapi Om. Nanti Bunda berantem sama Ayah lagi di rumah." kata Tammy, dengan kekhawatirannya.

"Tam. Biarin semua ini jadi urusan mereka. Kamu fokus untuk Al aja, ya? Kita bareng-bareng di sini."

Tammy mengangguk. Mereka berdua kembali berjalan mendekati ruang ICU berada.

•••••

Inne tiba di rumah dengan selamat. Ia datang, mengabaikan beberapa satpam yang menyambutnya di depan pintu gerbang. Menuruni mobilnya, dan masuk pada rumah nya.

"Ridho!" Panggil Inne agak keras. Dia berjalan menaiki tangga, dan mendekati kamar anak sulungnya.

Sedaritadi ia hanya mengabaikan tatapan orang-orang. Apalagi para asistennya yang memandangnya. Entah apa yang mereka semua pikirkan pada Inne yang kentara sangat marah.

Love Me, Please! Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang