Termenung dalam duka, terhanyut dalam takdir Allah ta'ala. Al berdiri sendirian di riuhnya ibukota. Dengan pemandangan kendaraan, dan indahnya langit biru siang menuju senja. Kini posisinya berada di hotel, tempat yang tepat meredam kesedihan yang lara.
"Woi!"
"Udah, udah sedihnya. Nggak baik tau, berlarut-larut." Memposisikan diri disamping, merangkul bahu kiri lawan bicaranya. Ini Andes.
Al menoleh dengan mata sayunya, menatap mata Andes yang juga ada bekas-bekas air mata yang tersisa. "Masih kebayang Elang yang ketawa bareng kita, kemarin, Kak."
"Skenario Allah itu bener-bener nggak terduga, ya. Padahal kemarin Elang keliatan seger banget, tapi tau-tau drop, dan dipanggil Allah pagi tadi."
"Yaa, itu takdir, Al. Nggak ada yang tau kedepannya bakal gimana. Orang yang pagi masih ketemu, terus siang nya ada kabar kematian aja banyak. Semua ini cuma tentang siap, enggaknya kita kalo hari itu datang."
"Elang juga udah puas berjuangnya, Al. Udah cape, udah puas sama keinginannya yang terkabul juga. Udah nggak berat istilahnya mah."
"Takut gua, Kak. Belum siap rasanya. Banyak yang Al belum capai. Banyak doa yang belum terkabul. Masih berat." Kata Al. Helaan nafasnya terdengar jelas sekali.
"Semisal hari itu datang, terus gua belum dapatin apa-apa gimana, ya? Seenggaknya orang-orang yang temenin gua dapat feedbacknya, Kak. Biar nggak ada penyesalan kalo udah nemenin anak penyakitan kayak gini."
"Alah. Apasih, ngaco-ngaco. Pikirin kesehatan lu aja mending! Gausah melenceng." Kata Andes. Meski terkesan bicara asal. Andes ini care pada orang-orang.
"Bisa, bisa. Gua tau lu kuat kok. Banyak, kan yang udah dilewatin? Nah! Itu udah jadi jawaban kalo lu bisa, Al."
"Ekhm!" Keduanya menoleh. Menatap seseorang di ambang pintu yang menghubungkan antara luar, dan dalam.
"Yuk. Mac and cheese nya udah jadi, loh. Ini dingin, kalian apa nggak kedinginan?" Keduanya menggeleng lemah. Al menatap Bundanya yang menjadi alasan mengapa mereka ada di hotel kali ini. Staycation katanya.
"Bunda ngupingin obrolan aku, sama Kak Andes, ya?" Tanya Al. Mengintrogasi.
"Kalo iya, emangnya kenapa?"
"Nggak sopan." Kata Al. Inne menyengir saja setelahnya.
"Udah, yuk? Hurvi, Rendi, sama Kakak udah kelaperan nungguin kalian nggak balik-balik."
•••••
Masih ingin terjerumus dalam duka, namun kenyataan kehidupan sudah berlomba-lomba menimpa. Al tak bisa berdiri sendiri.
Keputusannya untuk tetap sembunyi, nyatanya di tolak mentah-mentah, dan dipaksa menuruti. Al resah, dengan segala kemungkinan yang terjadi ketika nanti dia bergabung dalam drama orang-orang berkuasa, yang sukanya menipu media.
Al membuka Ipadnya, membuka salah satu pesan teratas dari aplikasi berwarna hijau ini, dengan raut biasa-biasa saja. 'Tidak tau diuntung. Udah bagus saya ajak kamu, Al. Masih mau menolak?!"
Al bersikukuh menolak, dia benar-benar tidak tertarik!
Al menghela nafasnya kemudian kakinya melangkah berpindah ke kamar sebelah. Dia masih berada di hotel, dengan kamar yang berbeda pada teman-temannya.
"Kenapa lesu gitu muka lu?" Al menggeleng.
"Enggak kenapa-napa. Keluar yuk, Kak? Ke mana gitu."
"Ke mana, ya enaknya?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Love Me, Please!
FanfictionKisah penuh drama yang ada dalam cerita ini, kisah Sad ending yang selalu ada di setiap harinya. Tokoh seperti-nya yang haus akan kasih sayang, akan membuat kalian tau bagaimana rasanya tak di sayang, rasa yang selalu menyesakkan. "Dengar? Sudah ber...