14 - Takut Kehilangan

990 114 63
                                    

Malam terasa begitu dingin. Angin-angin seperti memabukkan pepohonan membuat dedaunan bergerak mengikuti arus. Jalanan padat rayap, kendaraan berlalu lalang menimbulkan suara riuh disekitar.

Sebuah restoran bernuansa klasik, duduk di dekat kaca membuat pemandangan semuanya terasa nyata. Pandangannya fokus antara beberapa orang berbicara, juga suara riuh, dan pemandangan di sebrang sana.

Inne mengeluarkan suara ketika pertanyaan di lontarkan untuknya. Setelahnya, diam adalah jalan yang tepat untuk dirinya yang sebenarnya memang tak banyak bicara. Pemandangan di luaran setidaknya membuatnya tak merasa bosan akibat terlalu lama duduk menyaksikan suami, dan para kolega yang tengah berdiskusi kali ini.

Sebenarnya yang membuatnya tak betah menemani suaminya setiap ada pekerjaan seperti ini karna dia yang tak bisa jauh dari anak-anak nya. Kalau bisa memilih, Inne lebih nyaman jika malam-malam begini makan bersama dengan mereka, buah hatinya.

Terlebih... Entah kali ini ia selalu merasa resah, pikirannya tak fokus memikirkan ini, dan itu, segala hal buruk yang dicemaskannya. Apalagi, ketiganya tak menjawab telpon maupun membalas pesannya ketika dihubungi.

Ingin menghubungi Raka, tapi rasanya tak pantas jika menelpon laki-laki yang bukan saudara di depan suami, dan kolega suaminya. Meskipun Inne sudah menganggap Raka layaknya keluarga. Ya, tapi berjaga-jaga sajalah, daripada membangunkan singa yang sedang tidur, kan...

Inne berharap, semoga semuanya baik-baik saja. Setidaknya hingga ia kembali ke Jakarta, kembali pada buah hatinya.

•••••

Sementara di Rumah Sakit kali ini. Di depan ruang ICU itu terdapat Tammy, Sania, Kenzi yang menunggu. Di dalam, ada Raka yang menemani. Dia sebelumnya mengganti terlebih dulu cairan infus yang telah habis, meminta pada perawat jika dirinya saja yang menggantinya.

Entah Raka ingin menemani Al lebih banyak kali ini. Rasanya ia tak bisa memaafkan diri sendiri jika Al dalam keadaan yang buruk. Al sudah seperti anak bagi-nya.

"Cepet bangun. Nanti Om akan beliin kamu novel yang banyak. Kata Bunda, kamu lagi seneng baca novel, kan? Atau, apapun yang Al mau Om pasti kabulin. Yang penting bangun, ya, jangan lama-lama tidurnya."

Raka terdiam. Ia jadi ingat bahwa dia tak menghubungi Inne perihal kondisi Al saat ini. Ini salah, tapi Raka tak ingin Inne tau, dan memaksa pulang dari Kalimantan, dan akan menyebabkan pertengkaran dengan Ananda nantinya. Akan ada banyak masalah jika ada pertengkaran lagi. Ditakutkan jika mereka bertengkar di depan umum, siapa yang akan tau itu semua? Media? Semua platform akan menayangkan nya. Mereka, kehidupan asli mereka. Al yang koma saja sudah menjadi masalah yang besar, jika ditambah, bagaimana cara menyelesaikannya?

Raka merasa kali ini ia harus egois. Masa bodo pada orang yang bilang jika dia tak berhak mencampuri kehidupan Inne. Inne sahabatnya dari dulu, Al pasiennya, Al teman anaknya, dan terpenting ia sangat menyayangi Al, Menyayangi dengan ketulusannya.

Raka keluar setelah puas berada di dalam sana. Ia akan meng-istirahatkan tubuh serta pikirannya yang lelah. Mereka akan memantau dari luar, biarkan Al berisitirahat di dalam hingga puas, dan bangun kemudian.

•••••

Ananda keluar dari balkon hotel setelah tadi dia membersihkan diri. Membawa secangkir teh hangat untuk di nikmati pada malam yang dingin kali ini. Tangannya memegang ponsel, melihat banyaknya pesan yang belum terbaca. Matanya menyipit, mengklik pesan pada salah satu anak buahnya.

"Tuan, maaf, saya ingin mengabarkan sesuatu hal. Saya mendengar pembicaraan jika den Al dibawa ke rumah sakit, dan yang saya dengar kondisi den Al koma. Saat ini Non Tammy juga berada di sana untuk menjaganya, tuan. Saya hanya ingin melaporkan itu."

Love Me, Please! Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang