.
.
.
"Pagi hari menjadi permulaan untuk memulai hari. Alangkah baiknya menyambut dengan baik. Ucapkan syukur. Hilangkan kegundahan yang menggerogoti semalaman. Dengan begitu kau bisa menghabiskan harimu dengan baik."
Pagi hari merupakan waktu yang tepat untuk memulai sesuatunya dengan semangat. Terlebih pagi ini, cuaca begitu mendukung. Di jam delapan pagi seperti ini, matahari sudah bersinar terik. Memancarkan sinar indahnya. Menghapus sisa-sisa embun yang bertengger di dedaunan semalaman. Menunjukkan keangkuhannya kepada makhluk bumi untuk segera beraktivitas.
Namun, meskipun cuaca begitu cerah, Abimana malah tampak suram. Ia duduk termenung di meja makan sembari melemparkan tatapnya keluar, ke arah taman belakang yang tampak asri. Ia tidak bersemangat untuk menyambut hari baru. Entah kenapa belakangan ini dirinya seperti tidak diberi istirahat sama sekali. Otaknya selalu bekerja memikirkan banyak hal.
Setelah kepulangannya dari makam ibunya kemarin sore, ia merasa tidak tenang. Rasanya makin hari beban pikirannya bertambah saja. Mungkin saja rambut di kepalanya sudah memutih tanpa ia sadari. Ia mendesah keras, menyalurkan rasa frustasinya yang menggila.
"Are you okay, mas?"
Abimana tersentak, menoleh cepat dan menemukan Kara berjalan memasuki dapur. Pria itu bergerak ke arah kulkas, membukanya dan mengambil sebotol minum. Kemudian, menuangkannya ke gelas yang digapainya dari kabinet. Kara tidak langsung meminumnya, malah menyodorkannya ke arah Abimana.
"Minum, mas. You look so bad." Katanya. "Kenapa sih? Kepikiran yang kemarin?"
Lantas, Abimana meminumnya cepat. Alih-alih menjawab pertanyaan Kara, ia malah balik bertanya, "ayah ada bahas masalah mas gak bawa calon menantunya?"
Kara yang baru meneguk minumannya, mengangguk sekilas. "Semalam. Aku bilang aja belum."
"Lalu, katanya?"
"Berarti mas harus siap dikenalin sama anak temannya."
"Hah," Abimana berteriak kesal. "Kan mas sudah bilang, mas gak mau dijodoh-jodohin gitu." gerutunya.
Kara mengedikkan bahunya acuh. "Not my business."
Abimana mendengus keras, "kemarin aja bilangnya mau bantu ngomong ke ayah."
"Iya iya nanti aku bujuk ayah." Kara bergerak kembali membuka kulkas, mengeluarkan roti tawar, selai kacang dan mengambil satu buah telur. "Mau? tawarnya.
Abimana mengangguk, "mata sapi dan gak pake selai."
Kara mengangguk mengerti, lalu membelakanginya dan mulai berkutat dengan peralatan dapur. Pria itu menoleh kebelakang dan bertanya serius, "sudah dapat jawabannya, mas?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Problematika Orang Dewasa [Vol.2]
Romance[Sebenarnya apa permasalahan yang lebih pelik di alami orang dewasa?] Abimana Hanenda tidak pernah mengerti kenapa pekerjaannya yang sudah bagus ini tidak bisa membuat ayahnya merasa bahagia. Akhirnya, ia menyadari keputusannya tidak menuruti keingi...