Narasi | 5

17 1 0
                                    

Ini merupakan narasi kelima yang ada di au After Marriage

***

Abimana diam sesaat di depan pintu unit, memegang handle pintu dan memejamkan matanya. Dia lelah sekali saat ini, tapi bukannya dia bisa mengistirahatkan tubuh dan pikirannya ketika masuk ke dalam, dia malah harus menghadapi masalah lain. Dengan lunglai, jemarinya menekan-nekan angka digital, lalu membuka pintunya dan keadaan ruangan yang gelap dan sunyi menyapanya.

Pandangannya mengedar mencari sosok perempuan yang sempat berseru tegang dengannya tadi. Netranya berhenti di pantry, Namira duduk di sana, menopang dagunya dengan kedua tangan yang bertumpu di meja bar sembari menatapnya.

"Kenapa pulang?"

Abimana mendesah pelan, melangkah dengan lebar ke arah pantry. "Mas cape, Na. Mas gak mau ribut sama kamu." Dia ambil gelas dari kabinet, mengisinya dengan air mineral. "Sabtu ini mas gak akan ke kantor. Kita puasin keliling Bali seperti yang kamu mau." Gelas itu kosong dalam seteguk, "kamu kasih tau aja mau kemana, mas antar."

Namira mendengus kuat-kuat, terang-terangan menunjukkan rasa tidak sukanya. "Aku bisa pergi sendiri, gak perlu kamu anterin."

"Terus kamu maunya apa?" Abimana bertanya cepat. Dia letakkan gelas itu di meja bar, lebih ke arah membanting sepertinya karena menimbulkan bunyi yang cukup keras. Dia menarik nafasnya panjang, mengendalikan dirinya agar lebih tenang, "maaf. Mas gak bermaksud." Dia bisa lihat Namira yang tersentak di depannya ketika mendengar bunyi gelas kaca yang beradu dengan meja marmer.

"Aku mau pulang aja besok."

"Na.." Abimana menyela tidak suka, kernyitan di dahinya menandakan dia marah saat ini.

"Ya percuma kan aku di sini tapi kamu sibuk kerja." Namira tidak mau kalah, dia abaikan rasa takutnya ketika melihat kemarahan dari mata Abimana.

"Mas sudah turuti kemauan kamu ya, Na. Sabtu besok mas luangkan waktu buat kamu."

"Buat aku ya?" Namira tertawa sumbang. "Lebih baik aku pulang ke Jakarta."

"Jangan kekanak-kanakan, Namira."

"Ya. Aku emang kekanak-kanakan. Puas kamu!" Namira tanpa sadar meninggikan suaranya. Dia sudah marah dan melihat respon Abimana yang menganggap marahnya ini hanya hal biasa semakin membuatnya dibakar amarah. Pria itu seakan meremehkan kemarahannya.

Abimana menatap tajam Namira. "Turunkan suaramu," desisnya marah. "Jangan teriak ke mas, Namira."

"Biar kamu tau kalau aku marah sama kamu mas." Namira bersungut-sungut menutupi rasa takutnya yang menyeruak ketika mendengar geraman marah Abimana, belum lagi suara rendahnya ketika bicara.

Mereka berpandang-pandangan cukup lama, dengan isi pikiran yang hanya bisa mereka ketahui sendiri. Pada akhirnya Abimana yang menyerah. Pria itu mengusap wajahnya kasar sembari menghembuskan nafasnya pelan.

"Mas minta maaf karena terlalu sibuk," gumamnya pelan. "Mas gak paham dengan kamu. Kamu mau mas meluangkan waktu untuk menemanimu jalan-jalan di Bali, kan?" Dia perlahan mundur, "mas anterin sabtu ini kemana aja kamu mau. Sudah bereskan? Kenapa semua harus dibuat ribut Namira?" Pria itu bersedekap menanti jawaban Namira.

"Kalau kamu masih berpikir hanya untuk mengantarku doang, lebih baik gak osah." Namira berdiri, memejamkan matanya ketika merasakan nyeri pada kepalanya. "Aku gak perlu diantar, aku bisa sendiri." Dia kencangkan pegangannya pada pinggiran meja sebagai tumpuan karena sempat tidak sanggup menahan tubuhnya.

"Siapa yang berpikir begitu?" Abimana bertanya, tidak habis pikir cara kerja Namira menelaah setiap perkataannya.

"Telingaku masih berfungsi dengan baik, mas." Namira sudah kembali mendapatkan fokusnya. "Kamu itu tau gak sih point permasalahannya itu dimana? Ini bukan sekadar kamu anterin aku jalan-jalan dan semua selesai, mas." Dia hela nafasnya susah payah, "setelah seminggu lebih aku di sini dan mendengar caramu bicara malah terkesan kamu terpaksa dengan semua ini."

"Mas gak terpaksa, Namira."

"Ya. Kamu gak sungguh-sungguh mas. Kalau aja aku gak sampai marah gini kamu juga gak akan sadar mungkin sampai cuti aku selesai." Namira mengambil kesempatan untuk menghela nafas pelan. "Yang kamu lakukan sekarang ini hanya agar kita gak ribut lagi dan masalah kelar. Padahal kamu sendiri gak tau permasalahannya itu apa?"

"Ya karena memang begitu, Namira."

Namira mengangguk-angguk, tampak jengah, "ya, kamu memang gak tau point permasalahannya di mana."

"Cukup, Namira." Abimana mengusap tekuknya, "mas lelah, terserah kamu mau berpikirnya gimana." Dia sudah berencana akan pergi dari sana. "Mas mau tidur."

"Semudah itu?" Namira terkekeh, "aku juga cape, mas. Kamu tau gak, aku berharap besar waktu bisa nyusul kamu ke sini." Dia menggigit bibir bawahnya ketika merasakan sengatan nyeri pada bagian bawah perutnya. "Kita bisa senang-senang, menghabiskan banyak waktu berdua... Aku gak perlu kamu ajakin keluar rumah tiap hari juga mas—" Tidak sanggup menahan tubuhnya untuk terus berdiri ditengah rasa sakit yang mendera, dia putuskan untuk duduk kembali. "Cukup di apart kamu.. sesederhana kita ngobrol hal random aja aku udah bersyukur. Tapi.. kelihatannya terlalu sulit buat kamu mas." Dari bawah meja tangannya mencengkeran kuat perutnya, "apa gak bisa kamu bagi waktumu sedikit untuk aku? Setidaknya selama aku di sini. Aku juga gak lama." Dia meringis pelan, "jangankan bisa segera hamil seperti kata Ara bonus buat aku nyusul kamu ke sini. Untuk ketemu kamu dan bicara seperti sekarang ini aja kita harus berantam dulu, mas."

Abimana mengernyitkan dahinya dalam, dia sudah ingin mengalah ketika melihat keadaan Namira yang tidak baik-baik saja di depannya. Dia sudah ingin melangkah mendekat, memeluk wanitanya erat, dan memohon maaf yang banyak, agar mereka bisa berhenti berdebat, agar Namira bisa mengistirahatkan dirinya yang keliatan lemas. Namun, ketika mendengar penuturan perempuan itu, tiba-tiba kemarahan melingkupi jiwanya. Tangannya mengepal erat menahan dorongan kuat untuk melampiaskan amarahnya pada benda-benda di sekitar yang hanya akan membuat Namira ketakutan pada akhirnya.

Dia mendesis, giginya bergemeletuk kuat. "Jadi sekarang kita meributkan persoalan anak?" suaranya terdengar rendah, Abimana tertawa pelan. "Kemarahanmu dari tadi rupanya hanya berpusat pada keinginan kamu segera memiliki anak."

Kedua alis Namira bertaut, "bukan begitu."

"Mas selalu berusaha sabar menghadapi kamu yang terus menyinggung tentang anak, Namira." Abimana mendesah keras. "Kita gak sekali dua kali bahas ini. Kenapa kamu gak bisa ngerti?" Jemarinya mengusap kasar wajahnya. "Bukan kuasa mas Na kalau kita sampai sekarang belum bisa punya anak..." gumaman pria itu memelan diakhir kalimatnya, "kalau Tuhan belum berkehendak, kita juga gak bisa apa-apa, Namira."

"Mas... gak gitu," sela Namira. "Dengarin aku dulu."

"Apa kamu gak bisa puas hanya memiliki mas, Na?" Dia marah sekarang. Kemarahannya yang dia tahan-tahan sedari tadi berada di puncaknya. "Sepertinya cuma mas di sini yang cukup punya kamu aja di hidup mas," kekehnya terdengar keras di ruangan yang sunyi, beradu dengan suara detik-detik jam dinding. "Mas jadi bertanya-tanya, apa kamu gak bahagia nikah sama mas selama ini?"

Namira tercekat pada posisinya. Dia abaikan rasa nyeri yang hilang timbul pada perutnya. "Engga, mas." Kepalanya menggeleng kuat-kuat.

"Mukamu pucat. Istirahat, Na." Abimana memerintah dengan lembut. Kemarahannya memang sudah di puncak, meskipun begitu, dia masih sanggup untuk tidak memuntahkannya. Melihat keadaan Namira yang kacau sudah cukup baginya untuk meredam amarahnya yang bergejolak. "Mas keluar sebentar." Dia perlu mendinginkan kepalanya. Dia perlu menjauh dan memberikan dirinya waktu sesaat agar tidak meledak dan malah menyakiti Namira.

***

Problematika Orang Dewasa [Vol.2]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang